Dana desa mengalir dalam jumlah fantastis kepada lebih dari 70 ribu desa di seluruh Tanah Air. Seandainya pengawasan masyarakat dapat optimal, potensi penyelewengan bisa dihindari.

Pembangunan desa resmi menjadi perhatian utama pemerintah Indonesia pada 2015.

Desa tidak diharapkan lagi menjadi kawasan terbelakang, kurang produktif, dengan penduduknya yang terus menua, sementara kaum mudanya bergegas pindah ke kota.

Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014, berusaha meningkatkan 'marwah' desa. Dampak nyata dari beleid tersebut adalah pemberian fasilitas anggaran pembangunan kepada 74.093 desa di seluruh Tanah Air. Undang-Undang tersebut mengamanatkan pemerintah untuk mengalokasikan 10 persen APBN. Pada 2017, pemerintah menargetkan setiap desa mendapatkan kucuran dana desa minimal Rp 1 miliar.

APBN-P 2015 menganggarkan dana desa sebesar Rp20,7 triliun dengan total yang disalurkan mencapai Rp19,8 triliun hingga akhir 2015. Selain dana desa, desa juga menerima sejumlah anggaran melalui berbagai sumber. Sumber anggaran desa dengan besaran yang signifikan antara lain dikenal dengan Alokasi Dana Desa (ADD). Melalui dana desa dan ADD, potensi dana yang mengalir ke seluruh desa di Indonesia sekitar Rp58 triliun di 2015, dan akan terus meningkat.

Mengingat pentingnya pemanfaatan anggaran tersebut untuk mengembalikan peran desa sebagai sokoguru pembagunan, KPK berinsiatif melakukan kajian pengelolaan keuangan desa, untuk mendorong perbaikan sistem pengelolaan, sekaligus mengawasi penyalurannya bersama masyarakat. Tujuan program ini, tak lain demi menghapuskan celah-celah penyelewengan bagi pihak-pihak yang berniat meraup keuntungan pribadi.

Sebab, sebagaimana pepatah, "Ada gula, ada semut". Besarnya dana yang dikelola, bila tak diimbangi dengan kemampuan manajerial yang baik dan pengawasan yang ketat, tentu akan mudah terjadi penyelewengan dan korupsi.

Karena aspek strategis itu, KPK melakukan Kajian Pengelolaan Keuangan Desa: Dana Desa dan ADD. Dari sini, KPK menemukan setidaknya ada 14 potensi persoalan yang dibagi dalam empat aspek. Empat aspek besar itu, antara lain regulasi dan kelembagaan, tata laksana, pengawasan, dan sumber daya manusia.

Pada aspek regulasi dan kelembagaan, sejumlah persoalan itu merentang pada belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan dalam pengelolaan keuangan desa dan potensi tumpang-tindih kewenangan antara Kementerian Desa dan Ditjen Bina Pemerintahan Desa pada Kementerian Dalam Negeri.

Untuk aspek regulasi, KPK menyoroti belum lengkapnya regulasi dan petunjuk teknis terhadap pelaksanaan pertanggungjawaban serah-terima aset dan dana bergulir Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Per Desember 2014, aset dana bergulir PNPM yang dikelola berjumlah Rp10,3 triliun. Mengingat jumlah kelolaan dana yang cukup besar, vakumnya regulasi dan pengawasan, tentunya itu rentan untuk disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Peluang terjadinya fraud, terutama dalam pemindahan dan penghapusan aset, menjadi semakin besar.

Untuk formulasi penentuan besaran dana desa, dalam Pasal 11 PP No 60/2014, formulasi penentuan besaran dana desa per kabupaten cukup transparan, yakni dengan mencantumkan bobot pada setiap variabel. Namun, pada PP yang baru, yakni Pasal 11 PP No 22/2015, sebesar 90 persen anggaran dibagi rata ke semua desa. Sisanya, 10 persen dibagi menggunakan formula jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.

Pada aspek tata laksana, terdapat lima persoalan, antara lain kerangka waktu siklus pengelolaan anggaran desa sulit dipatuhi oleh desa, satuan harga baku barang/jasa yang dijadikan acuan bagi desa dalam menyusun APBDesa belum tersedia, transparansi rencana penggunaan dan pertanggungjawaban anggaran belanja desa masih rendah, laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum mengikuti standar dan rawan manipulasi, serta APBDesa yang disusun tidak sepenuhnya menggambarkan kebutuhan yang diperlukan desa.

Berdasarkan regulasi yang ada, mekanisme penyusunan APBDesa dituntut dilakukan secara partisipatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Namun, tidak selamanya kualitas rumusan APBDesa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan prioritas dan kondisi desa tersebut.

Misalnya, Desa X yang kondisinya minim infrastruktur dan perbandingan jumlah penduduk mayoritas miskin, justru memprioritaskan penggunaan APBDes untuk renovasi kantor desa yang kondisinya masih relatif baik. Atau, Desa Y yang lebih memprioritaskan pendirian Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) perdagangan cengkeh, dibandingkan pembangunan infrastruktur.

Sementara pada aspek pengawasan, ada tiga potensi persoalan, yakni efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di desa masih rendah, saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua daerah, serta ruang lingkup evaluasi dan pengawasan yang dilakukan oleh camat, belum jelas.

Pada aspek sumber daya, KPK menilai pentingnya proses rekrutmen tenaga pendamping dilakukan secara profesional dan cermat. Mengacu pada kasus tenaga pendamping PNPM yang melakukan korupsi dan kecurangan yang diproses oleh aparat penegak hukum, umumnya para oknum pendamping tersebut melakukan korupsi/fraud dengan memanfaatkan kelemahan aparat desa dan longgarnya pengawasan pemerintah.

Atas hasil kajian tersebut, KPK merekomendasikan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Desa Pembangunan Desa Tertinggal dan Transmigrasi, Kementerian Keuangan, dan BPKP untuk saling berkoordinasi dalam melengkapi regulasi, membangun pengawasan dan menyusun sistem keuangan dan pertanggungjawaban yang sesuai kemampuan dan kebutuhan desa, serta menyusun kesepakatan bersama terkait pengawasan, pemantauan, dan evaluasi penggunaan dana untuk desa (APBDesa). KPK juga merekomendasikan pemerintah daerah untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan di tingkat desa, terutama melalui peningkatan kompetensi aparat desa dan inspektorat daerah.

Libatkan Masyarakat

Tak sekadar melakukan kajian, KPK juga sekaligus menyiapkan pelbagai rekomendasi kepada kementerian maupun pemerintah daerah yang menjadi garda depan penyaluran dana desa untuk membuat mekanisme pengawasan partisipatif.

Salah satu caranya dengan membentuk sarana pengaduan masyarakat dalam mengawasi penggunaan dana desa. Di samping itu, rekrutmen pendamping yang kredibel untuk membantu aparat desa mengalokasikan dana sekaligus membuat laporan penggunaannya dirasa perlu. Serta, di tingkat lebih atas, menjamin wilayah kerja Kementerian Dalam Negeri bersama Kementerian Desa, Transmigrasi, dan Daerah Tertinggal, tidak tumpang-tindih.

KPK meyakini risiko munculnya masalah akan lebih besar apabila aparat desa, aparat pemerintah pusat, maupun masyarakat tidak bersinergi mengawasi penggunaan anggaran yang besar. Karenanya, KPK mengajak masyarakat untuk berperan serta dalam mengawal dana desa, sehingga manfaat bisa dirasakan hingga ke pelosok.

Berbagai sosialisasi dilakukan dengan menggelar diskusi ke daerah. Salah satunya saat menggelar diskusi "Gerakan Kawal Dana Desa" di Yogyakarta pada 12 Agustus 2015. Forum ini dihadiri 300 peserta yang terdiri atas bupati dan kepala desa, pegiat lembaga swadaya masyarakat, dan juga wartawan.

Cara lainnya dalam meningkatkan pengawasan partisipatif tadi, dengan merangkul Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI). Biro Hubungan Masyarakat KPK melalui Radio KanalKPK membekali para pegiat radio komunitas (rakom) dengan pelatihan jurnalisme serta sosialisasi tentang transparansi penggunaan dana desa di 11 titik. Kegiatan yang berlangsung Mei-Juni 2015 ini, diselenggarakan di Malang, Yogyakarta, Kediri, Tulungagung, Pontianak, Aceh, dan Medan.

Dari kegiatan ini, KPK mendapatkan umpan balik yang sangat positif, yakni antusiasme rakom dalam menyebarluaskan program-program antikorupsi serta komitmen dalam mengawal implementasi UU Desa yang bebas dari korupsi pada setiap materi siaran mereka. Dengan begitu, mereka juga mendorong aparat desa untuk bersikap transparan dan akuntabel sehingga kesejahteraan desa bisa terwujud.

Top