Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti turunnya skor Monitoring Center for Prevention (MCP) tahun 2023, sehingga diperlukan evaluasi dan penyusunan langkah-langkah akseleratif untuk perbaikan aksi pencegahan korupsi di daerah. Hal ini disampaikan Direktur Koordinasi Supervisi Wilayah I Edi Suryanto pada Rapat Koordinasi Finalisasi MCP Tahun 2024.

“Hasil MCP Tahun 2023 rata-ratanya sebesar 75, hasil ini menurun 1 poin dari tahun 2022 yang mendapat skor 76. Adanya penurunan hasil, artinya perlu ada upaya-upaya yang dilakukan dalam rangka memperbaiki area-area intervensi yang masih rentan,” kata Edi saat menyampaikan sambutan pada kegiatan yang berlangsung dari Senin (5/2) hingga Rabu (7/2), di Hotel Grand Aston, Ciloto, Bogor.

Terdapat 546 Pemerintah Daerah (Pemda) yang berpartisipasi pada penilaian MCP 2023. Mayoritas Pemda telah berhasil mendapat skor 75-100 (tinggi) dengan persentase sebesar 66,12%. Akan tetapi, Pemda tersebut masih banyak yang berasal dari wilayah II dan III, yaitu di daerah Jawa dan sekitarnya.

“Faktanya Pemda yang mendapat skor 0-25 (rendah) masih ada, yaitu sebanyak 15 Pemda. Oleh karena itu, diharapkan kedepannya perolehan hasil MCP dengan skor tinggi dapat merata di seluruh daerah Indonesia dan tidak ada lagi Pemda yang berada di skor rendah,” pesan Edi.

Adanya mayoritas Pemda yang berhasil mencapai skor tinggi diharapkan dapat menjadi motivasi dan acuan bagi Pemda lainnya untuk terus melakukan perbaikan area yang rentan korupsi di instansinya masing-masing. Hal ini menjadi penting, karena KPK menyadari kerja sama antar-instansi akan memudahkan tujuan dalam rangka mencapai Indonesia bebas korupsi.

Pada MCP 2023, terdapat 7 area intervensi yang menjadi penilaian, antara lain perencanaan dan penganggaran APBD, perizinan, pengadaan barang dan jasa, pengawasan APIP, manajemen ASN, optimalisasi pajak daerah, dan pengelolaan BMD. Area perencanaan dan penganggaran mendapat skor tertinggi sebesar 80, namun masih terdapat indikator yang perlu diperbaiki.

“Pada indikator area perencanaan dan penganggaran APBD terdapat dua indikator yang masih rendah, yaitu pengawasan bantuan pemerintah dan pengendalian pengawasan anggaran. Oleh karena itu, kami mengusulkan perencanaan dan anggaran perlu dipisahkan pada MCP 2024,” kata Edi.

Edi juga menyoroti area intervensi lainnya. Berdasarkan data penanganan perkara korupsi KPK Tahun 2004-2023, gratifikasi/penyuapan menjadi jenis perkara korupsi tertinggi dengan jumlah 989 atau sekitar 65% dari total keseluruhan jenis perkara. Edi menegaskan bahwa umumnya penyuapan berasal dari Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ).

“PBJ masih menjadi isu. Sehingga, hal ini menjadi pertimbangan bagi kita tentang bagaimana menyusun substansi MCP di tahun 2024 yang dapat meminimalisir potensi korupsi sektor PBJ, khususnya pada persoalan tender dan pokir,” kata Edi.

Edi menjelaskan indikator area PBJ tahun 2023 sebenarnya sudah dinilai berjalan dengan baik, khususnya pada indikator inovasi pelaksanaan pengadaan, pengendalian pengadaan, dan penguatan profesionalisme Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ). Akan tetapi, dengan masih banyaknya kasus korupsi pada sektor PBJ, perlu ada upaya-upaya lainnya yang efektif dalam menurunkan potensi penyuapan/gratifikasi dalam pelaksanaan PBJ.

Untuk dapat membahas secara inklusif persoalan tersebut, dalam Rapat Koordinasi dan Finalisasi MCP ini juga dihadirkan Satuan Tugas (Satgas) Pencegahan yang berkutat dalam MCP dan Satgas Penindakan. Pada pertemuan ini akan dibahas secara teknis setiap indikator dalam area intervensi MCP.

“Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi wadah untuk saling memberi sumbangsih pikiran tentang bagaimana mencegah korupsi di daerah,” kata Edi

Top