Pemerintah menetapkan anggaran untuk sektor infrastruktur sebesar Rp392,2 triliun untuk tahun 2023, serta telah menyiapkan anggaran Rp422,7 triliun untuk belanja infrastruktur di 2024. Anggaran yang besar ini perlu dikelola dengan transparan, agar dunia usaha yang bergerak di bidang infrastruktur seperti penyedia jasa konstruksi tidak terjebak dalam tindak penyuapan.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron, dalam Dialog KPK dengan Asosiasi Usaha dalam Mendorong Pembangunan Integritas pada Dunia Usaha, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (7/9). Ghufron berharap, dengan adanya dialog ini dunia usaha akan menjadi dunia yang pasti dengan saling menciptakan iklim yang sehat dan bebas dari korupsi, termasuk di dunia usaha yang bergerak di bidang infrastruktur seperti penyedia jasa konstruksi.

“Perlu kita pertegas bahwa dalam hal konstruksi ada dua hal yang terlibat, yaitu pemilik konstruksi dan pelaksana proyek. Oleh karena itu, kita berharap dapat diurai masalah apa yang terjadi dari pihak pengusaha konstruksi, baik yang ringan maupun berat,” ujar Ghufron.

Dalam dialog tersebut, ditemukan bahwa dalam pelaksanaan proyek konstruksi banyak terjadi permasalahan di lapangan. Ada pergeseran hukum yang terjadi, dimana hukum yang berlaku di awal berbasis kontrak (perdata) selalu diseret ke ranah pidana.

Dinamika ini yang seringkali membuat para pengusaha konstruksi mudah dikambing hitamkan. Akibatnya, para pengusaha konstruksi merasa lebih aman mengerjakan proyek swasta bila dibandingkan dengan proyek penyelenggara negara yang risikonya lebih besar.

 “Untuk proyek tersebut, sebenarnya kembali lagi ke itikad awal. Adanya pemberian atau janji di awal, tentu akan menggeser itikad sehingga masuk ke ranah pidana,” jelas Ghufron.

Sejalan dengan Ghufron, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga menyampaikan bahwa KPK siap membantu. Pesannya, jika selama ini ada permasalahan di lapang bagi para pengusaha konstruksi jangan takut untuk melaporkan, sehingga tidak akan ada proses hukum yang menjurus kepada para pengusaha.

“Jika Bapak/Ibu sekalian sudah bekerja dengan benar dan ada permintaan lain, inilah disebut pemerasan. Jadi kasus seperti ini bisa dilaporkan. Para perwakilan badan usaha dapat menyampaikan data-data ketika diaudit, intinya tidak perlu takut,” tegas Alex.

Kendala yang Dihadapi Pelaku Usaha Sektor Konstruksi

Sebelumnya, KPK melalui Direktorat Anti Korupsi Badan Usaha (AKBU)sering berdiskusi dengan pelaku usaha dan menemukan inti permasalahan yang sama, salah satunya dari regulasi yang seringkali tumpang tindih dan membuat bingung para pelaku usaha.  Untuk itu, KPK meminta seluruh asosiasi usaha konstruksi yang hadir dapat melampirkan masukan dan rekomendasi sesuai perspektif masing-masing secara tertulis.

“Dengan disusun secara sistematis, kami berharap analisis yang dihasilkan akan tepat sasaran,” kata Aminudin selaku Direktur AKBU KPK. 

Sejumlah permasalahan sektor konstruksi yang disampaikan oleh perwakilan Gabungan Perusahaan Konstruksi Nasional Indonesia (GAPEKSINDO), Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI), dan Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) dalam dialog ini.

Pertama, adanya regulasi tidak sesuai dengan regulasi turunan. Irwan Kartiwan selaku Ketua Umum GAPEKSINDO menyampaikan bahwa Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menyatukan antara barang dan jasa adalah hal yang kurang tepat.  Menurutnya prosesnya dan karakter objeknya berbeda, tidak bisa disatukan melalui satu regulasi.

Kedua adalah tidak adanya kriteria calon pemenang. Dari banyak kasus terjadi, pengumuman pemenang banyak yang tidak diketahui proses dan transparansinya. Karenanya, GAPENSI menilai saat ini para pengusaha konstruksi juga masih tidak tahu standarisasi penawaran yang dimenangkan. Hal ini memunculkan batas angka yang tidak wajar dan menyebabkan kompetisi yang tidak sehat antar badan usaha.

Lebih lanjut Wakil Bidang Pratama INKINDO Ronald Sihombing Hutasoit menyampaikan masalah lainnya yang ditemukan di lapangan, dimana APH menetapkan konsultan maupun badan usaha karena aduan masyarakat. Menurutnya harusnya pelapor adalah ahli yang mengerti bidang tersebut.

“Mendengar paparan dari KPK yang bisa membantu kami, kami berharap bisa dibina agar mampu menciptakan ekosistem badan usaha konstruksi yang sehat. Kami berharap kedepan keterbukaan yang berkualitas kedepannya,” kata Ronald.

Turut hadir dalam dialog tersebut, Juru Bicara KPK Ipi Maryati, serta beberapa perwakilan DPP GAPEKSINDO, BPP GAPENSI, dan INKINDO

Top