Cegah Potensi Kerugian Daerah, KPK Stimulus Kolaborasi Pencegahan Korupsi di Provinsi Riau

Di balik kekayaan sumber daya alam yang dimiliki, Provinsi Riau dihadapkan pada tantangan serius dalam pengelolaan keuangannya. Defisit anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) hingga Rp132 miliar menjadi sorotan utama dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Penguatan Sinergi Kolaborasi Pencegahan Korupsi yang digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (19/5), di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.
Rakor ini menjadi forum penting antara KPK dan seluruh pemerintah daerah se-Provinsi Riau untuk memperkuat kolaborasi dalam upaya pencegahan korupsi, terutama pada aspek pengawasan, penganggaran, pengadaan, dan pelaksanaan program pemerintah.
Direktur Koordinasi dan Supervisi Wilayah I KPK, Agung Yudha Wibowo, menekankan pentingnya kesamaan pandangan antara eksekutif dan legislatif daerah dalam tata kelola pemerintahan. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk mengelola potensi daerah secara optimal dan bebas dari praktik koruptif.
“Provinsi Riau memiliki potensi kekayaan alam yang melimpah, untuk mengelolanya tentu diperlukan persamaan persepsi antara pemerintah daerah dan DPRD. Hal ini mengingat, tingginya angka tindak pidana korupsi di beberapa daerah menjadi sinyal peringatan bahwa perlu peningkatan kewaspadaan dari seluruh perangkat daerah, dan kegiatan ini menjadi langkah konkret membangun komitmen bersama dalam pemberantasan korupsi,” kata Agung.
Skor Tinggi, Tapi Masih Banyak PR
Melalui sistem Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP), KPK memantau efektivitas tata kelola pemerintah daerah. Provinsi Riau mencatat skor rata-rata MCSP sebesar 80,66% dari 13 kabupaten/kota, angka yang cukup menggembirakan namun belum sepenuhnya mencerminkan kondisi ideal.
Empat aspek utama masih menjadi pekerjaan rumah, yaitu penganggaran, pengadaan barang dan jasa, pengelolaan barang milik daerah (BMD), serta optimalisasi pajak daerah. Dalam konteks inilah, Agung menyoroti dampak nyata dari defisit anggaran yang kini tengah membayangi Riau.
“Dengan defisit yang ada, setiap rupiah anggaran harus dikelola dengan penuh tanggung jawab. Karenanya, kondisi ini berisiko memperburuk penyerapan anggaran dan membuka peluang manipulasi dalam proses penganggaran, sehingga menjadi sangat rawan disusupi praktik-praktik koruptif,” ungkapnya.
Agung juga mengingatkan agar pemilihan program pembangunan dan pokok-pokok pikiran (pokir) dilakukan secara cermat, berdasarkan kebutuhan masyarakat. Program yang tidak tepat sasaran bukan hanya memperburuk efisiensi, tapi juga menghambat potensi pendapatan asli daerah (PAD).
Beberapa penyebab defisit diidentifikasi, seperti realisasi pendapatan dari pajak dan deviden yang belum optimal, serta kontribusi participating interest (PI) 10% dari sektor migas yang belum mencapai target. KPK pun meminta para kepala daerah dan organisasi perangkat daerah (OPD) segera mengevaluasi kebijakan fiskal dan pengelolaan aset secara menyeluruh.
Integritas, Fondasi Tata Kelola
Meski skor MCSP cukup tinggi, hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024 Provinsi Riau justru memperlihatkan kondisi sebaliknya. Dengan capaian hanya 62,83, Provinsi Riau berada dalam kategori "rentan", bahkan menurun hampir 6 poin dari tahun sebelumnya.
Agung menegaskan bahwa integritas harus menjadi fondasi bagi perbaikan tata kelola daerah. Ia juga mendorong penguatan peran aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) dan optimalisasi fungsi Bank Pembangunan Daerah (BPD) untuk mendukung kebijakan fiskal yang lebih inklusif dan berkeadilan.
“BPD harus menjadi instrumen pembangunan yang berpihak pada masyarakat, bukan alat untuk memperbesar ketimpangan. Karena itu, pengawasan dan komitmen integritas sangat dibutuhkan,” pungkas Agung.
Sektor lain yang turut menjadi sorotan adalah pengelolaan hibah vertikal dan pajak dari sektor sumber daya alam (SDA). KPK mengingatkan perlunya pengawasan berkala untuk mencegah penyalahgunaan anggaran, khususnya di badan usaha milik daerah (BUMD), sektor pajak, dan SDA.
Reformasi Tata Kelola Jadi Komitmen
Menanggapi sorotan dari KPK, Gubernur Riau, Abdul Wahid, menyambut baik kegiatan ini sebagai momentum penting dalam membangun kesadaran kolektif akan pentingnya integritas dan pencegahan korupsi di lingkungan pemerintah daerah.
“Kolaborasi ini penting untuk mempercepat reformasi birokrasi dan memperkuat transparansi fiskal. Defisit anggaran yang kami alami salah satunya bersumber dari hibah provinsi kepada aparat penegak hukum dan kementerian/lembaga. Ini menjadi perhatian bersama untuk terus meningkatkan efisiensi dan akuntabilitas anggaran,” ujar Wahid.
Ia pun menegaskan komitmennya untuk melakukan pembenahan menyeluruh pada tata kelola pemerintahan di Riau, mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, hingga pelaporan pembangunan, agar pembangunan daerah berjalan lebih terarah, efisien, dan bebas dari penyimpangan.
Kilas Lainnya
