KPK Gelar FGD Kajian Rangkap Jabatan, Rumuskan Rekomendasi Mitigasi Benturan Kepentingan
Seiring sorotan publik atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 128/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan Menteri dan Wakil Menteri merangkap jabatan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperkuat kajian risiko rangkap jabatan di sektor publik. Fokusnya mencakup Aparatur Sipil Negara (ASN) dan penyelenggara negara lainnya, termasuk di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
KPK menggelar Forum Group Discussion (FGD) bersama pakar lintas sektor di Gedung ACLC KPK, Jakarta, Selasa (4/11). Diskusi ini menjadi langkah awal penyusunan rekomendasi kebijakan pencegahan korupsi, guna memperkuat sistem pengawasan dan memitigasi benturan kepentingan (conflict of interest/COI).
Plt. Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, menegaskan perlunya pengaturan tegas rangkap jabatan untuk mencegah ruang penyalahgunaan kewenangan dan menjaga sistem merit birokrasi.
“Diskusi ini bukan seremonial, melainkan langkah menyusun rekomendasi agar tata kelola jabatan publik lebih bersih dan bebas dari konflik kepentingan. Demikian juga sinkronisasi data pejabat antarlembaga juga krusial agar pengawasan berjalan valid dan transparan,” ujar Aminudin.
Data Transparency International Indonesia (TII) 2025 mencatat 34 dari 56 menteri merangkap jabatan sebagai komisaris BUMN. Temuan tersebut menjadi salah satu dasar penguatan kajian KPK.
Dalam sesi diskusi, Wakil Ketua KPK periode 2015–2019, Laode M. Syarif, menyoroti potensi korupsi sistemik akibat rangkap jabatan yang tidak diatur dengan tegas.
“Ketika regulator juga menjadi pelaku usaha, celah korupsi sistemik terbuka lebar. Aturannya harus komprehensif dan tegas,” terang Laode.
Pakar Hukum Tata Negara, Satya Arinanto, menilai ASN berada dalam posisi dilematis jika rangkap jabatan tidak memiliki mekanisme pengawasan yang konsisten.
“UU ASN menegaskan aparatur harus bebas dari kepentingan politik dan menjaga integritas. Karena itu, mekanisme pengawasan hingga kajian berkelanjutan sangat diperlukan,” jelas Satya.
Dari perspektif tata kelola BUMN, Inspektur Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan sekaligus Komisaris Bio Farma, Roni Dwi Susanto, menekankan bahwa isu utama bukan soal kompensasi ganda.
“Yang paling berbahaya bukan soal gaji, tapi abuse of power. Bagaimana kekuasaan dapat mempengaruhi keputusan dan kebijakan,” imbuhnya.
Sekretaris Jenderal TII, Danang Widoyoko, juga menambahkan pentingnya pengaturan rinci, termasuk cooling-off period dan sistem gaji tunggal bagi pejabat yang merangkap jabatan di BUMN.
“Pemerintah harus hadir memastikan jabatan strategis tidak menjadi ruang patrimonialisme birokrasi,” kata Danang.
Masukan para pakar ini akan diperdalam sebagai dasar rekomendasi kebijakan KPK. Rekomendasi tersebut diharapkan menjadi rujukan pemerintah dalam memperkuat tata kelola jabatan publik yang bebas benturan kepentingan.