KPK Dorong Pemda di Banten dan Riau Lebih Bersih Lewat Program Desa Antikorupsi

Saat ini, isu tata kelola pemerintahan yang baik tak lagi hanya milik pusat. Justru, wajah pemerintahan Indonesia yang sesungguhnya banyak tercermin di daerah—di kota-kota kecil, kabupaten, hingga pelosok desa. Di titik inilah praktik pemerintahan yang transparan dan berintegritas diuji secara nyata.
Memahami pentingnya hal itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus memperkuat langkah pencegahan korupsi dengan menyasar level pemerintahan paling dekat dengan masyarakat. Melalui Direktorat Pembinaan Peran Serta Masyarakat (Ditpermas), KPK resmi memperluas cakupan Program Desa Antikorupsi tahun 2025. Kali ini, Provinsi Banten dan Provinsi Riau menjadi dua wilayah yang digandeng secara serentak, Kamis (15/5).
Bukan sekadar perluasan wilayah, langkah ini juga merupakan komitmen untuk menumbuhkan budaya antikorupsi sebagai gerakan kolektif. Di dalamnya, pemerintah daerah, lembaga swadaya, dan masyarakat desa diharapkan tak hanya menjadi penonton, tapi pelaku utama perubahan.
Menanam Integritas dari Bumi Baduy
Di Provinsi Banten, semangat ini diterjemahkan lewat bimbingan teknis (bimtek) bagi para penyuluh antikorupsi (PAKSI), yang berlangsung di aula Kantor Inspektorat Provinsi Banten. Kepala Satuan Tugas 1 Direktorat Ditpermas KPK, Rino Haruno, menekankan pentingnya refleksi awal dari desa-desa peserta program.
“Langkah pertama yang paling krusial adalah melakukan self-assessment atas indikator yang sudah ditentukan dalam Buku Panduan Desa Antikorupsi. Proses ini tidak hanya administratif, tapi juga jadi titik awal refleksi, sejauh mana desa kita terbuka dan berintegritas, dan peran PAKSI di sini menjadi wadah awal gerakan antikorupsi berbasis masyarakat,” ujar Rino.
Rino juga menegaskan, proses ini tak bisa dilakukan hanya oleh aparatur desa. Keterlibatan warga sangat penting. Masukan dari tokoh masyarakat, kelompok pemuda, hingga perempuan desa menjadi bagian dari validasi kondisi nyata—bukan sekadar pengisian data formalitas.
“Karena indikator bukan soal angka dan dokumen semata, namun tentang kepercayaan publik terhadap aparaturnya,” tambahnya.
Agar pengisian indikator tak menyulitkan, desa-desa kini dibekali format pelaporan standar berbasis Excel. Setiap poin indikator disertai tautan ke dokumen pendukung, mulai dari peraturan desa, SOP pelayanan publik, hingga bukti partisipasi masyarakat. Yang lebih penting, desa juga didorong menjalin komunikasi aktif dengan pemerintah kabupaten/kota agar pelaksanaan program bisa terpadu dan tidak tumpang tindih.
Antikorupsi dari Tanah Lancang Kuning
Di hari yang sama, di Provinsi Riau, KPK juga menggulirkan agenda serupa—kali ini secara daring. Para kepala desa dari berbagai kabupaten/kota dilibatkan dalam diskusi mengenai peran strategis mereka dalam mencegah korupsi, terutama melalui pengelolaan dana desa.
Analis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Andhika Widiarto, menyebut bahwa program percontohan tingkat kabupaten/kota antikorupsi merupakan fase pendampingan yang lebih sistematis dan partisipatif untuk memperkuat integritas dari bawah.
“Sebagai fondasi utama tata kelola pemerintahan desa yang bersih, perangkat desa berperan besar sebagai aparatur pada level mikro—tempat di mana masyarakat pertama kali merasakan pelayanan publik, dan tempat pertama pula integritas diuji. Untuk itu, para kepala desa harus dapat membangun budaya antikorupsi di lingkungan masing-masing, terutama dalam pengelolaan dana desa secara profesional dan transparan,” kata Andhika.
Ia mengingatkan bahwa dana desa adalah sumber daya penting untuk pembangunan—baik fisik, layanan dasar, maupun ekonomi lokal. Namun, potensi sebesar itu juga menyimpan risiko jika tidak dikelola dengan benar. Karena itu, peningkatan kapasitas dan komitmen dari para pengelolanya menjadi kunci.
Andhika pun mengajak seluruh pihak di desa—perangkat, kepala desa, hingga masyarakat—untuk memperkuat budaya gotong royong. Baginya, desa hari ini bisa menjadi cerminan Indonesia masa depan: terbuka, modern, dan berakar pada nilai kejujuran.
Menuju 100 Desa Percontohan pada 2026
KPK menargetkan, pada 2026, setidaknya ada 100 desa yang benar-benar bisa menjadi contoh tata kelola pemerintahan yang bersih, transparan, dan partisipatif. Tak hanya unggul dalam dokumen, tetapi juga menghadirkan perubahan yang nyata di tengah masyarakat.
Dari Banten hingga Riau, semangat yang sama kini menjalar: bahwa membangun Indonesia yang antikorupsi tak bisa hanya dimulai dari atas. Justru harus dari bawah—dari desa, dari aparaturnya, dan dari masyarakatnya.
Kilas Lainnya
