SPI 2024 Ungkap Celah Tata Kelola Pendidikan di NTT, KPK Dorong Perbaikan Sistemik

Tata kelola lembaga pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih menjadi titik lemah dalam upaya membangun pendidikan berintegritas. Data Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 mencatat, Indeks Integritas Pendidikan (IIP) NTT berada di angka 70,44, dengan dimensi tata kelola memperoleh skor terendah, 61,32. Kondisi ini menjadi perhatian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendorong perbaikan sistem pengelolaan pendidikan di daerah.
Sebagai tindak lanjut, KPK menggelar Forum Group Discussion Monitoring dan Evaluasi SPI Pendidikan 2024 di Aula Fernandez, Kantor Gubernur NTT, Kota Kupang, Rabu (8/10). Forum ini dihadiri Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, Kanwil Kemenag, LLDIKTI, Kopertais, dan Inspektorat se-Provinsi NTT.
“Capaian itu mencerminkan integritas pendidikan jenjang menengah atas atau sederajat di NTT, berada pada level 2 atau kategori ‘Integritas Korektif’,” tutur Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana.
Wawan menegaskan, pendidikan berintegritas tidak cukup hanya mengandalkan kejujuran siswa di ruang ujian. Diperlukan penguatan tiga dimensi utama: pembentukan karakter berintegritas, ekosistem pendidikan antikorupsi, dan tata kelola yang bersih dari penyimpangan.
Pemetaan SPI menunjukkan karakter peserta didik menjadi aspek paling menonjol dengan skor 76,88, menandakan nilai kejujuran dan tanggung jawab mulai tumbuh di ruang kelas. Namun, belum diimbangi sistem kelembagaan yang kokoh.
“Nilai-nilai integritas seperti kejujuran, tanggung jawab, dan etika mulai tampak di kalangan peserta didik meski belum sepenuhnya merata dan konsisten,” jelas Wawan.
Sinyal serupa disampaikan Direktur Jejaring Pendidikan KPK, Dian Novianthi. Menurutnya, meskipun partisipasi survei mencapai 88,64 persen, integritas pendidikan di NTT masih berada pada tahap awal dan memerlukan penyempurnaan berkelanjutan.
"Sudah ada langkah transparansi, seperti audit internal dan mekanisme pengawasan. Tapi, pelaksanaannya belum konsisten, masih banyak celah perilaku tidak berintegritas,” ungkap Dian.
Hasil SPI juga mencatat, LLDIKTI Wilayah XV (pendidikan tinggi) memperoleh skor 66,11, dengan dimensi tata kelola kembali menjadi nilai terendah. Tantangan terbesar justru bukan pada peserta didik, melainkan pada ekosistem dan sistem pengelolaan lembaga pendidikan.
Dian menambahkan, kolaborasi lintas lembaga perlu diperkuat agar program pendidikan antikorupsi menyentuh sistem kelembagaan, bukan hanya kegiatan di kelas. “Kolaborasi antarpemangku kepentingan memang sudah mulai terbentuk, tapi masih perlu diperkuat agar dampaknya lebih luas,” tambahnya.
KPK mendorong pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan masyarakat memperkuat kontrol internal, evaluasi kebijakan, serta pelaporan transparan. Pendekatan ini menjadi strategi keberlanjutan untuk menjadikan tata kelola sebagai fondasi utama pendidikan berintegritas.
Inspektur Daerah Provinsi NTT, Stefanus F. Halla, menilai pendampingan KPK sebagai langkah strategis membangun sistem pendidikan yang berlandaskan kejujuran dan tanggung jawab. “Transformasi pendidikan tidak bisa berhenti pada yang sudah ada. Tapi, harus melampaui batas minimal menuju perubahan karakter yang berkelanjutan,” ucap Stefanus.
Ia menambahkan, hasil IIP akan menjadi acuan evaluasi rutin bagi pemerintah daerah dan lembaga pengampu agar menjadi dasar perbaikan kebijakan dan budaya kerja, bukan sekadar laporan tahunan.
Melalui forum ini, KPK dan para pemangku kepentingan di NTT meneguhkan komitmen memperkuat ekosistem pendidikan berintegritas. Program SPI Pendidikan menjadi instrumen penting untuk memantau internalisasi nilai antikorupsi dalam perilaku individu, kebijakan kelembagaan, dan tata kelola pendidikan.