Mayoritas Disdik Abaikan Hasil SPI 2024, KPK Ingatkan Pentingnya Regulasi dan Implementasi Pendidikan Antikorupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap 55,84 persen dinas pendidikan kabupaten/kota tidak menindaklanjuti hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024. Padahal, survei ini merupakan instrumen penting untuk memetakan risiko korupsi di satuan pendidikan.
Temuan tersebut disampaikan dalam High Level Meeting (HLM) II: Tindak Lanjut Kolaborasi Implementasi Pendidikan Antikorupsi (PAK) di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi (ACLC) KPK, Jakarta, Selasa (18/11). KPK menilai lemahnya tindak lanjut ini menunjukkan persoalan integritas lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi penjaga nilai moral.
“90 dari 93 kota sudah beregulasi PAK. Namun, Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) bernilai 3,85 dari skala 5, yang menandakan perlunya penguatan budaya integritas sejak dini,” ucap Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo.
Ibnu menjelaskan, implementasi PAK paling banyak dituangkan melalui peraturan kepala daerah: peraturan wali kota sebesar 96,77 persen, peraturan gubernur 81,58 persen, dan peraturan bupati 80,72 persen.
Menurutnya, pendidikan antikorupsi tidak cukup diberikan kepada siswa, tetapi harus hadir dalam tata kelola organisasi pendidikan—mulai dari layanan publik, perizinan, hingga budaya sekolah. Ia mengingatkan bahwa gratifikasi kecil yang dianggap lumrah dapat menjadi akar praktik korupsi.
“Seperti gratifikasi yang lumrah di masyarakat, tapi sebenarnya melanggar. Sampaikan ini dalam buku panduan dan mencantumkan akibat korupsinya bagi keluarga,” pesannya.
KPK mencatat, dari 3.074 rencana aksi yang telah disusun, sebagian besar masih berupa kegiatan teknis seperti sosialisasi (1.415 kegiatan), workshop (767 kegiatan), monitoring dan evaluasi (332 kegiatan), serta penerbitan regulasi baru (295 kegiatan). Namun, tantangan terbesar tetap berada pada koordinasi lintas kementerian/lembaga yang masih rendah (78 persen) dan minimnya partisipasi daerah dan satuan pendidikan (67 persen).
Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, sebelumnya telah menetapkan tiga fokus utama dalam HLM I, yaitu regulasi, implementasi, serta monitoring dan evaluasi. Ketiga fokus ini kembali menjadi landasan pada HLM II untuk memperkuat kolaborasi lintas kementerian dan merumuskan rencana aksi PAK 2025.
“Utamanya, advokasi kebijakan, berupa penyusunan naskah urgensi PAK untuk memperkuat responsivitas pemangku kepentingan,” tegasnya.
Ibnu juga menekankan pentingnya penguatan regulasi melalui PKS Interkoneksi Sistem dan Data dengan Single Sign-On (SSO), serta revisi Keputusan Direktur Jenderal terkait ketentuan wajib sisipan PAK dalam mata kuliah umum di perguruan tinggi.
Adapun aspek implementasi meliputi penyusunan sejumlah panduan, mulai dari buku panduan jenjang dini-dasar-menengah, peta kompetensi, panduan gratifikasi untuk pendidikan tinggi, sisipan PAK dalam mata kuliah, hingga lokakarya dan pelatihan dosen PAK.
Menurut Wawan, kegiatan ini bukan hanya memperkaya materi, tetapi mengisi kekosongan standar integritas yang selama ini sangat bergantung pada inisiatif daerah.
“Kita mengevaluasi yang sudah kita lakukan. Beberapa hal yang sudah kita bahas harus ditindaklanjuti tahun ini, dan mana yang akan ditindaklanjuti pada tahun depan,” pungkasnya.
Pertemuan ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga seperti Kemenko PMK, Kemendagri, Kemenag, Kemendikdasmen, Kemendikti Sains dan Teknologi, dan Bappenas. Kolaborasi ini diharapkan dapat memperbaiki pola kerja sektor pendidikan dalam membangun budaya antikorupsi secara berkelanjutan.