KPK: Potret Hasil Positif Tahun 2025, SPI Jadi Fondasi Kebijakan Antikorupsi Berkelanjutan
Upaya memperkuat integritas lembaga publik, tidak luput dari kemampuan membaca risiko korupsi secara lebih jernih. Langkah ini sejalan dengan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2025 sebesar 72,53 dan masuk kategori “rentan” sehingga menjadi pijakan strategis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna memahami titik rawan korupsi serta menyiapkan perbaikan konkret dan terstruktur.
Wakil Ketua KPK, Agus Joko Pramono, saat membuka talkshow bertajuk “Kolaborasi Bangun Integritas: Dari Data ke Aksi Nyata,” menilai SPI bernilai publik besar sebab menggambarkan keseriusan lembaga negara dalam membangun tata kelola bersih, sekaligus menunjukkan pengelolaan risiko penyimpangan.
“Integritas lembaga harus dibuktikan melalui evaluasi berbasis data dan tindakan nyata. Hasil ini adalah potret, agar instansi memperkuat kepercayaan publik–mewujudkan tata kelola pemerintahan bersih,” tegasnya di Ruang Sultan Agung, Museum Benteng Vredeburg, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (9/12).
Kata Agus, data SPI mestinya tidak dipandang sebagai masalah semata, melainkan peluang memperbaiki sistem, budaya kerja, serta kualitas pelayanan. Melalui pemahaman data mendalam, lembaga pemerintah diharapkan mampu menyusun langkah pencegahan lebih presisi, terarah, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Agus mengungkap sejumlah tantangan atas hasil capaian tersebut, mulai dari melemahnya sosialisasi antikorupsi di zona rentan, integritas pelaksanaan tugas belum diperbaiki, masih rawannya pengelolaan SDM, serta maraknya suap dan pungutan liar. Sejumlah temuan itu, disebut menjadi sinyal peringatan agar pemerintah segera mengevaluasi dan merumuskan perbaikan sesuai risiko di tiap satuan kerja.
Selain tantangan itu, risiko manipulasi pelaksanaan SPI harus segera diatasi karena persoalan integritas berkaitan dengan lembaga yang dinilai dan kredibilitas. Ia turut menyoroti, praktik pengkondisian responden sebagai upaya ‘mempercantik angka’, justru merugikan publik karena mengaburkan realitas pelayanan.
Capaian yang terlihat baik di permukaan, tidak dapat menggantikan realitas lapangan. Dalam jangka panjang, akuntabilitas pemimpin akan dinilai dari sikap dan tindakan selama menjabat, bukan dari laporan yang rapi. Jika terindikasi manipulasi, KPK akan mengoreksi lebih ketat, guna memastikan kesungguhan perbaikan dan menjaga kepentingan publik.
Menurut Agus, pemetaan kerentanan dari SPI membantu publik memahami pemberantasan korupsi bukan sekadar penindakan, namun membangun sistem penutup celah korupsi sejak awal. Dengan demikian, hasil SPI tidak sekadar laporan tahunan, melainkan feedback loop yang mendorong instansi memperbaiki pelayanan, meningkatkan akuntabilitas, dan memperkuat budaya integritas berkelanjutan.
Sementara, Plt Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK, Aminudin, mengungkapkan hasil SPI tidak boleh berhenti pada hasil, tapi kualitas tindak lanjut setiap instansi. Sejatinya, SPI bagai ‘cermin’ kondisi integritas saat ini, mulai dari kebocoran sistem, budaya kerja permisif, hingga ruang suap, gratifikasi, dan konflik kepentingan.
Aminudin menilai, kondisi itu dapat diubah lewat aksi nyata usai mengetahui kelemahan, sehingga mampu menentukan langkah perbaikan. Hampir seluruh Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), telah menyusun Rencana Tindak Lanjut (RTL) berdasarkan evaluasi SPI 2024–2025, yang menjadi dasar guna menutup celah korupsi di birokrasi.
“RTL harus membenahi sistem, bukan berhenti pada sosialisasi aturan yang sudah dipahami. Kalau SPI menunjukkan risiko tinggi sektor PBJ, perbaikan harus pada e-Procurement, keterbukaan paket, hingga sistem peringatan dini,” ungkap Amin.
Pada sektor perizinan, perlu tindakan nyata menutup ruang negosiasi informal dengan digitalisasi layanan, kejelasan tarif dan Service Level Agreement (SLA), serta penguatan kanal pengaduan. Perubahan KPK, dinilai tidak fokus pada penambahan dokumen, namun perbaikan perilaku dan proses, termasuk pengetatan kontrol kunci, pembatasan diskresi, rotasi jabatan, serta perlindungan pelapor.
Menutup paparannya, Amin menegaskan setiap indikator perbaikan harus dirumuskan secara konkret dan terukur, agar perkembangan reformasi integritas dapat dipantau dengan jelas sehingga perubahan bersifat substantif. Dengan pendekatan itu, Ia berharap seluruh pihak terlibat aktif dan berkontribusi nyata mewujudkan Indonesia bebas korupsi.
Direktur Monitoring KPK, Aida Ratna Zulaiha, menyatakan akan menindaklanjuti setiap risiko dari hasil SPI 2025 dengan konsisten mengawal, termasuk pendampingan rutin setiap tiga bulan agar perbaikan di tiap instansi benar-benar berjalan. Menurutnya, tindak lanjut SPI 2025 fokus memperkuat upaya menutup berbagai titik rentan korupsi yang muncul di banyak sektor.
Aida juga menyoroti penurunan skor pada sejumlah aspek krusial, seperti potensi perdagangan pengaruh, integritas pelaksanaan tugas, serta efektivitas sosialisasi antikorupsi. Temuan ini, dinilai menjadi alarm instansi pemerintah guna serius memperbaiki tata kelola secara berkelanjutan.
Diketahui, SPI Tahun 2025 melibatkan 657 instansi, yakni 107 Kementerian/Lembaga, 38 Pemerintah Provinsi, 508 pemerintah kabupaten/kota, serta empat 4 BUMN. Dari jumlah tersebut, capaian per kategori instansi, dapat diakses melalui laman Jaga.id atau Booklet Hasil SPI 2025.
Kegiatan ini turut dihadiri Deputi Informasi dan Data (INDA) KPK Eko Marjono, Deputi Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPK Cahya H Harefa, Seninor program officer Divisi Tata Kelola Partisipasi dan Demokrasi Transparency International Indonesia (TII) Agus Sarwono, Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM) Rijadh Djatu Winardi, Jurnalis Tempo Francisca Christy Rosana, Influencer Andovi Da Lopez, dan Komika Abdur Arsyad.
Kilas Lainnya