Lewat Kuliah Lapangan, KPK Ajak Mahasiswa Janabadra Jadi Garda Antikorupsi

Belajar soal antikorupsi tak cukup hanya dari buku teks. Nilai-nilai kejujuran dan integritas perlu ditanamkan sebagai bagian dari karakter. Pesan inilah yang ditekankan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ibnu Basuki Widodo, kepada 120 mahasiswa Universitas Janabadra (UJB) dalam Kuliah Hukum Lapangan yang terselenggara di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (29/4).
“Di Janabadra sudah ada pendidikan antikorupsi, ini kemajuan dibanding perguruan tinggi negeri lain. Saya sangat apresiasi, dan harapannya pendidikan antikorupsi jangan dianggap pelajaran saja, tapi sebagai ilmu, sebagai pembentuk moralitas dan mentalitas. Jadi mahasiswa ini nanti bisa membantu masyarakat dan KPK untuk pemberantasan korupsi,” ujarnya.
Kegiatan ini menjadi bagian dari upaya KPK untuk mendekatkan dunia akademik dengan gerakan antikorupsi. Menurut Ibnu, mahasiswa tak hanya memiliki peran sebagai pembelajar, tapi juga agen perubahan yang bisa menyuarakan nilai-nilai kejujuran di tengah masyarakat.
Pembantu Rektor III UJB, Sunarya Raharja, menguatkan bahwa kampusnya memang telah mengintegrasikan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum semua jurusan, bukan hanya Fakultas Hukum. “Janabadra adalah salah satu universitas yang sudah memasukkan mata kuliah pendidikan antikorupsi di kurikulum semester satu, dan bukan hanya untuk Fakultas Hukum, tapi seluruh program studi,” ungkap Sunarya.
Dalam paparannya, Ibnu juga menyoroti perilaku-perilaku koruptif yang kerap muncul di lingkungan kampus—mulai dari titip absen, plagiat, menyontek, hingga manipulasi proposal kegiatan. Ia mengingatkan bahwa korupsi tidak selalu dimulai dari hal besar. Gratifikasi kecil yang dibiarkan, bisa menjadi pintu masuk tindak pidana korupsi.
“Gratifikasi itu pemberian kepada seseorang yang punya kewenangan, dan pemberian ini dilakukan terus menerus sehingga menimbulkan rasa rikuh. Misalnya dari orang tua murid kepada guru, tadinya hanya pemberian biasa, tapi karena sering diberikan, si guru akan terpengaruh saat murid yang bersangkutan nilainya rendah, ada perasaan tidak enak dan akhirnya memberikan nilai yang lebih baik. Itu gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan,” jelasnya.
Ia juga mengajak mahasiswa untuk menyadari dampak besar dari korupsi. Kasus korupsi e-KTP, misalnya, nilainya setara dengan 230 juta liter pertalite, atau cukup untuk membiayai hidup 73 ribu mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi, bahkan untuk membeli 100 juta paket ayam geprek.
“Untuk itu, saya ajak mahasiswa ikut berperan dalam pemberantasan korupsi. Mengingatkan kepada orang tua kita, mengingatkan teman-teman kampus untuk sadar dan taat kepada hukum dengan tidak korupsi. Peran mahasiswa itu ada pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat. Adik-adik bisa mendorong kebijakan antiplagiat, mengembangkan program atau gerakan deteksi menyontek, juga bisa mendorong kebijakan pelaporan pelanggaran anonim,” ujarnya menutup sesi kuliah.
Antusiasme Mahasiswa dan Pandangan Antikorupsi
Sesi Kuliah Hukum Lapangan ini disambut antusias oleh para mahasiswa. Berbagai pertanyaan kritis pun bermunculan, mulai dari proses penyitaan harta koruptor, penanganan pencucian uang, hingga efektivitas penindakan KPK setelah revisi UU No. 19 Tahun 2019.
Suasana sempat mencair ketika slide mengenai perilaku koruptif mahasiswa ditampilkan. Sejumlah peserta saling menunjuk—menyadari ada teman yang mungkin ‘terkena’ sindiran. Bahkan, ada yang iseng memotret kawannya yang tertidur saat kuliah tengah berlangsung.
Hari Oktami Sudiro, salah satu peserta, mengakui bahwa perilaku koruptif memang masih kerap dijumpai di kampus. “Cukup banyak, watak koruptif di mahasiswa saat ujian tengah semester dan ujian akhir semester suka curang, ya kadang menyontek dan lainnya,” ucapnya.
Namun setelah mengikuti kuliah ini, Hari mengaku siap menegur teman yang melakukan tindakan curang. “Menurut saya tindakan koruptif itu merugikan masa depan seorang, dan lingkungan sekitarnya,” katanya penuh semangat.
Hal senada disampaikan Angelica Virginia Suteja, mahasiswa semester enam yang menegaskan penolakannya terhadap plagiarisme. “Saya pribadi tidak suka karya yang sudah dikerjakan dengan susah payah, diplagiat seseorang dengan tidak mencantumkan sumbernya. Saya akan selalu mengingatkan orang-orang di sekitar saya untuk selalu menuliskan sumber atau memasukan dalam referensi nama penulis dari kutipan,” tegasnya.
Angelica juga menyinggung kebiasaan mahasiswa belajar sistem kebut semalam, dan berharap teman-temannya mulai membangun etika akademik yang lebih baik.