KPK: Perang Melawan Korupsi Dimulai dari Perilaku dan Sistem yang Berintegritas

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada penegakan hukum. Keberhasilan memerangi korupsi harus dimulai dari perubahan perilaku individu dan pembenahan sistem pemerintahan secara menyeluruh.
“Korupsi bukan semata urusan hukum, tetapi masalah moral dan perilaku. Mari kita benahi, mulai dari hal terkecil misalnya lewat perjalanan dinas yang efisien hingga penggunaan mobil dinas yang bijak,” ujar Ketua KPK, Setyo Budiyanto, dalam Kuliah Umum bertajuk ‘Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi’ di hadapan 89 peserta Pendidikan Pemantapan Pimpinan Nasional (P3N) XXVI Lemhannas, di Auditorium Gadjah Mada Lemhannas, Jakarta, Selasa (14/10).
Setyo menekankan, perubahan perilaku harus berjalan seiring dengan regulasi yang kuat. Regulasi tanpa perilaku berintegritas hanya akan menjadi tulisan di atas kertas, sementara perubahan perilaku tanpa dukungan aturan akan berhenti di tataran wacana.
KPK mendorong agar setiap kebijakan dan peraturan di lembaga pemerintahan terus diperbarui sesuai semangat pemberantasan korupsi. “Kita tidak bisa mengandalkan pendekatan hukum saja. Harus ada keberanian untuk menyesuaikan regulasi, memperkuat celah hukum yang masih lemah, agar pemberantasan korupsi bisa benar-benar maksimal, bukan sekadar optimal,” tambah Setyo.
Ia juga mengingatkan, kelemahan sistemik yang dibiarkan akan berdampak langsung terhadap skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. Tahun 2024, skor IPK Indonesia tercatat hanya 37 dari 100, menempatkan Indonesia di peringkat 99 dari 180 negara versi Transparency International Indonesia (TII).
“Angka ini menjadi peringatan serius bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa hanya bertumpu pada penindakan. Diperlukan pembenahan sistem yang menyeluruh dan perubahan perilaku secara masif agar praktik korupsi tidak lagi dianggap hal yang lumrah,” tegasnya.
Lebih lanjut, Setyo menyoroti masih adanya empat praktik korupsi yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam undang-undang, yaitu illicit enrichment (kekayaan tidak wajar), foreign bribery (suap lintas negara), abuse of function (penyalahgunaan jabatan), dan embezzlement (penggelapan).
“Kekosongan hukum ini sering membuat penegakan hukum harus melakukan berbagai ‘akrobat’ untuk memastikan pelaku tetap dapat diproses. Karena itu, KPK mendorong agar regulasi antikorupsi nasional segera disempurnakan, agar memiliki payung hukum yang komprehensif dan berkeadilan,” jelasnya.
Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, menambahkan, terciptanya perilaku antikorupsi dan sistem pemerintahan yang bersih memerlukan kolaborasi semua pihak, termasuk peserta P3N Lemhannas, sebagai calon pemimpin masa depan.
“Indonesia maju hanya bisa diwujudkan jika kita berani menegakkan pemerintahan yang bersih. KPK tidak bisa berjalan sendiri. Kita butuh dukungan dan peran serta masyarakat, sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 19 Tahun 2019. Pemberantasan korupsi harus menjadi budaya bersama, bukan sekadar slogan,” ujarnya.
Plt. Deputi Pendidikan Pimpinan Tingkat Nasional Lemhannas, Bob Henry Panggabean, mengapresiasi kontribusi KPK dalam memberikan wawasan strategis pemberantasan korupsi. Ia berharap para peserta P3N dapat menjadi agen integritas di lingkungan kerja masing-masing.
“Penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi merupakan prasyarat fundamental bagi terciptanya tata kelola negara yang efektif. Karena itu, penting bagi para calon pemimpin memahami sejak awal bagaimana mencegah dan menanggulangi praktik korupsi dalam setiap proses pemerintahan,” kata Bob.
Kuliah umum ini turut dihadiri oleh Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat KPK Wawan Wardiana, Direktur Pendidikan dan Pelatihan Antikorupsi (ACLC) KPK Yonathan Demme Tangdilintin, serta 89 peserta P3N Angkatan XXVI yang berasal dari TNI, Polri, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, BUMN, organisasi masyarakat, hingga tokoh masyarakat.
Kilas Lainnya
