KPK Dorong Penguatan APIP di Jambi, Tutup Rapor Merah Tata Kelola Daerah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah I terus mendorong penguatan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP), khususnya di lingkup Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi. Upaya ini ditujukan untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah dan menghapus catatan merah dalam indeks integritas serta pengawasan.
Plh Deputi Korsup KPK, Edi Suryanto, menyampaikan hal tersebut dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Penguatan Pencegahan Korupsi bersama seluruh pemerintah daerah se-Provinsi Jambi, yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (14/5). Dalam forum itu, Edi menekankan pentingnya kolaborasi antarpihak agar tata kelola daerah berjalan tanpa tumpang tindih kebijakan maupun praktik yang merugikan keuangan negara.
“Saya sempat menjabat sebagai PJ Walikota di Pontianak selama 3 bulan 20 hari, dan yang menjadi catatan adalah pemda bisa berjalan baik dan maksimal, tapi satu yang paling utama: butuh teman. Saat ‘terjepit’, kita butuh teman. Untuk itu, kami siap menjadi salah satu teman pemda untuk memperbaiki sistem bersama,” ujarnya.
KPK mencatat nilai Monitoring Center Surveilance for Prevention (MCSP) Pemprov Jambi masih berada di posisi terendah dibandingkan kabupaten/kota lain di provinsi tersebut. Skornya hanya 72,37, jauh di bawah rerata 82,06. Beberapa indikator dengan capaian rendah di antaranya adalah optimalisasi pajak (47), pengadaan barang dan jasa (52), serta pengawasan oleh APIP (75). Ini mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan internal dan besarnya potensi titik rawan korupsi.
Penurunan juga tampak dari hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) Jambi, dari 71,45 pada 2023 menjadi 65,36 pada 2024. Angka tersebut menempatkan Jambi dalam kategori rentan. KPK menilai, kondisi ini menuntut langkah konkret yang tidak semata administratif, tetapi juga menyentuh aspek budaya birokrasi dan integritas individu.
Edi menegaskan, perubahan tersebut bisa dicapai melalui penguatan APIP, pengelolaan anggaran yang berpihak pada kebutuhan rakyat, dan pemberantasan praktik korupsi di tiga sektor rawan: perizinan, pengadaan barang dan jasa, serta perencanaan dan penganggaran.
“Jangan pernah berpikir serakah. Jadi pejabat di pemda itu sebenarnya sudah cukup dan lebih dari cukup. Kalau masih berpikir serakah, tinggal tunggu waktunya,” tegas Edi.
Senada, Kasatgas Korsup Wilayah I.2 KPK, Uding Juharudin, juga menekankan pentingnya sinergi dan penguatan peran pengawasan internal guna menutup berbagai celah kerawanan.
“Kalau ada korupsi di daerah, itu rapor merah bagi kami juga. Kita bukan yang paling hebat soal teknis pemda, tapi kelebihan kami ada di mandat undang-undang. Maka, manfaatkan kami sebagai mitra untuk menyempurnakan tata kelola di daerah,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa kolaborasi antara eksekutif dan legislatif sangat krusial dalam memperkuat gerakan antikorupsi.
“Tahun sebelumnya kami banyak bersentuhan dengan eksekutif. Tahun ini kami libatkan juga legislatif, agar komitmen antikorupsi ini jadi kesadaran kolektif,” tegasnya.
APIP Masih Lemah, Gubernur Jambi Akui Tantangan di Lapangan
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Jambi Al Haris secara terbuka mengakui bahwa posisi APIP di daerahnya masih lemah. Ia mencontohkan banyaknya kasus yang seharusnya bisa diselesaikan melalui pengawasan internal, namun justru langsung menyeret aparat penegak hukum (APH).
“APIP ini kadang ada tapi seperti tak ada. Mereka sulit mengembangkan sayap. Sebagai contoh, kepala sekolah ditekan LSM atau pihak lain, lalu masuk surat kaleng ke APH. Harusnya ada perlindungan dan peran APIP dulu, sesuai SKP tiga menteri, Mendagri, KPK, Jaksa Agung. Apa pun kondisi di daerah, dahulukan pencegahan,” katanya.
Di tengah tantangan fiskal, Haris juga menggarisbawahi pentingnya efisiensi dan kerja sama lintas sektor, termasuk dengan KPK. Saat ini sekitar 60% anggaran daerah masih bergantung pada dana transfer pusat.
“Ketika dana transfer ke daerah dikurangi, tentu ruang gerak kami menjadi lebih terbatas. Namun, dengan komitmen dan penguatan tata kelola, kami yakin bisa tetap memenuhi harapan masyarakat. Terlebih, nilai MCP kita pernah ada di posisi terbaik, sekarang menurun, dan itu akan kami evaluasi. Kami tidak khawatir, karena KPK ini teman kita. Kami siap berkoordinasi,” ujarnya.
Menutup Luka Lama, Membuka Kesadaran Baru
Tak bisa dimungkiri, Jambi masih menyisakan catatan kelam dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada 2018 terkait pengesahan RAPBD 2017 dan 2018. Kala itu, Gubernur Jambi 2016–2021, Zumi Zola, ikut terseret. Dugaan suap "uang ketok palu" senilai Rp2,3 miliar juga menjerat 52 anggota DPRD Provinsi Jambi periode 2014–2019. Dari jumlah tersebut, 24 orang telah dijatuhi vonis bersalah dan berkekuatan hukum tetap.
Belajar dari pengalaman itu, Ketua DPRD Provinsi Jambi, M. Hafiz Fattah, menegaskan bahwa pihaknya terus melakukan pembenahan dan menyambut baik pendampingan dari KPK.
“Kami sadar masih banyak hal yang perlu pendampingan. Di DPRD, tarik-menarik aspirasi pokok-pokok pikiran (pokir) itu nyata. Kami tak bisa menyalahkan siapa pun, karena semua ingin mengakomodasi konstituen,” jelas Hafiz.
Ia juga mengakui bahwa tekanan politik sejak proses pemilihan menjadi tantangan tersendiri bagi pejabat daerah dalam memperbaiki sistem tata kelola.
“Sebenarnya menjadi pejabat itu sudah cukup. Tapi proses menuju jabatan itu berat, beban politik sangat besar. Semoga ke depan dalam hal ini juga ada perbaikan,” ujarnya.
Sebagai penutup, seluruh jajaran Pemprov Jambi melakukan penandatanganan Komitmen Antikorupsi yang memuat delapan poin penguatan. Antara lain: penolakan terhadap gratifikasi dan pemerasan, dukungan terhadap penegakan hukum, penguatan pencegahan berbasis MCP, transparansi dan partisipasi dalam perencanaan APBD, serta komitmen untuk tidak mengintervensi PBJ, hibah, dan bansos. Selain itu, turut ditekankan pentingnya pengawasan oleh DPRD dan APIP yang lebih kuat.
Kilas Lainnya

