Jakarta, 5 Agustus 2021 – Komisi Pemberantasan Korupsi menyampaikan keberatan atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai Dugaan Penyimpangan Prosedur dalam Proses Peralihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.

Penyampaian keberatan tersebut sesuai ketentuan dalam Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan OmbudsmanNomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan yang di dalam Pasal 25 ayat 6b diatur bahwa dalam hal terdapat keberatan dari Terlapor/Pelapor terhadap Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) maka keberatan disampaikan kepada Ketua Ombudsman RI.

Berdasarkan analisis dan pertimbangan hukumnya, KPK merangkum pokok keberatan tersebut dalam poin-poin berikut.

  • Pokok Perkara yang diperiksa Ombudsman RI merupakan pengujian keabsahan formil pembentukan Perkom KPK No 1 Tahun 2020 yang merupakan kompetensi absolute Mahkamah Agung dan saat ini sedang dalam proses pemeriksaan.

Hal tersebut sebagaimana fakta diketahui bahwa laporan aquo ini juga sedang diajukan ke Mahkamah Agung untuk menguji materi Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara terhadap UU Nomor 19 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

  • KPK berpandangan bahwa Ombudsman RI melanggar kewajiban hukum untuk menolak laporan atau menghentikan pemeriksaan atas laporan yang diketahui sedang dalam pemeriksaan pengadilan.

Ombudsman RI mengetahui fakta bahwa perkara laporan aquo sedang diajukan pemeriksaannya ke Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, serta mengetahui bahwa ada kewajiban hukum bagi Ombudsman RI untuk menolak atau setidaknya menghentikan pemeriksaan atas laporan yang sedang diperiksa pengadilan. Namun Ombudsman RI tetap memeriksa dan mengeluarkan LHAP. Hal tersebut bertentangan dengan Pasal 9 dan Pasal 36 ayat (1) huruf b UU Ombudsman RI.

  • Legal Standing pelapor bukan masyarakat penerima layanan publik KPK sebagai pihak yang berhak melapor dalam pemeriksaan Ombudsman RI.

Sebagaimana diatur dalam  pasal 1 angka 4 Peraturan Ombudsman RI No. 48 tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Ombudsman RI no 24 tahun 2019 tentang penerimaan laporan, pemeriksaan dan kesimpulan yang menyatakan bahwa Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara atau penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara Pelayanan Publik. Sehingga semestinya warga negara dimaksud adalah warga negara yang mendapat pemenuhan kebutuhan layanan publik atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara Pelayanan Publik dalam hal ini KPK.

  • Pokok perkara pembuatan peraturan alih status pegawai KPK, pelaksanaan TWK, dan penetapan hasil TWK yang diperiksa oleh Ombudsman RI bukan perkara pelayanan publik.

KPK berpandangan bahwa sengketa adminsitarsi kepegawaian bukan merupakan ruang lingkup dan wewenang Ombudsman RI yang melakukan pemeriksaan dalam lingkup sengketa pelayanan publik yang melibatkan penyelenggara layanan dengan masyarakat selaku pengguna layanan. Dimana berdasarkan Pasal 5 UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menentukan bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrasi (vide Pasal 5 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik juncto Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik). Pelayanan administrasi dalam undang-undang dan peraturan pemerintah dimaksud dibatasi dalam bentuk pelayanan pemberian dokumen berupa perizinan dan nonperizinan yang bersifat penetapan.

  • Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan ada penyisipan materi TWK dalam Tahapan Pembentukan Kebijakan tidak didasarkan bahkan bertentangan dengan dokumen, keterangan saksi, dan pendapat ahli dalam LHAP.
  • Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan “Pelaksanaan Rapat Harmonisasi tersebut dihadiri pimpinan Kementerian/Lembaga yang seharusnya dikoordinasikan dan dipimpin oleh Dirjen Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memberikan delegasi dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah diberikan melalui delegasi, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

  • Penyalahgunaan wewenang terjadi dalam penandatangan Berita Acara Pengharmonisasian yang dilakukan oleh pihak yang tidak hadir pada Rapat Harmonisasi tersebut. Fakta hukum Rapat Koordinasi Harmonisasi yang dihadiri atasannya yang dinyatakan sebagai maladministrasi, juga dilakukan oleh Ombudsman RI dalam pemeriksaan klarifikasi atas laporan aquo.

Sebagaimana diketahui bahwa pada saat rapat pemberian klarifikasi oleh terlapor dalam hal ini Wakil Ketua KPK, yang semestinya berdasarkan pasal 15 ayat 2 Peraturan Ombudsman RI no 48 tahun 2020 yang menyatakan  Permintaan Klarifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Keasistenan yang membidangi fungsi Pemeriksaan. Namun faktanya, pada saat pemeriksaan permintaan klarifikasi Ombudsman RI kepada Terlapor dilakukan oleh Komisioner Ombudsman RI.

  • Pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan KPK tidak melakukan penyebarluasan informasi Rancangan Peraturan KPK melalui portal internal KPK bertentangan dengan bukti.

KPK telah mengunggah Rancangan Peraturan KPK dalam Portal Internal KPK. Berdasarkan Peraturan KPK KPK Nomor 12 Tahun 2018 tentang Produk Hukum di KPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan (5) bahwa tidak ada kewajiban bahwa setiap perubahan harus diunggah. Selain itu, KPK telah melakukan mekanisme untuk menyerap aspirasi pegawai. Namun berkenaan dengan aspirasi tersebut terutama yang menolak dilakukan TWK tidak dapat dipenuhi, mengingat masukan tersebut tidak sesuai dengan kebijakan yang diambil untuk melakukan Asesmen TWK pengalihan Pegawai KPK. Terhadap masukan tersebut, Pimpinan KPK telah melakukan dialog dengan pegawai yang menolak Asesemen TWK melalui media email secara wajar.

  • Pendapat Ombudsman Rl berkaitan tentang “Terdapat Nota Kesepahaman dan Kontrak Swakelola antara KPK dan BKN tentang Tahapan Pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan tidak relevan karena tidak pernah digunakan dan tidak ada konsekwensi hukumnya dengan keabsahan TWK dan hasilnya.

Pada kenyataannya nota kesepahaman dimaksud tidak pernah dipergunakan sebagai dasar pelaksanaan pembayaran oleh KPK kepada pihak BKN, karena Pihak BKN pada akhirnya memiliki anggaran sendiri untuk pelaksanaan Asesmen TWK tersebut. Artinya berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak kontrak tersebut tidak dipergunakan sebagai dasar pembayaran, sehingga tidak ada akibat hukum yang timbul bagi kedua pihak maupun adanya kerugian keuangan negara akibat adanya tanggal mundur tersebut.

  • Pendapat Ombudsman Rl yang menyatakan telah terjadi maladministrasi berupa tidak kompetennya BKN dalam melaksanakan asesmen TWK bertentangan dengan hukum dan bukti.

KPK memandang Ombudsman mengabaikan fakta-fakta hasil pemeriksaan terhadap keterangan dan bukti terlapor. Kemudian berdasarkan Peraturan Kepala BKN No 26 tahun 2019 tentang Pembinaan penyelenggara penilaian kompetensi pegawai negeri sipil, dalam melakukan penilaian kompetensi BKN diperbolehkan menggunakan/melibatkan instansi/lembaga lain sepanjang telah memenuhi persyaratan termasuk asesornya.

  • Pendapat Ombudsman RI yang menyatakan bahwa KPK tidak patut menerbitkan Surat Keputusan Ketua KPK Nomor 652 Tahun 2021 karena merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN tidak berdasar hukum.

Pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 tanggal 4 Mei 2021 tentang  putusan pengujian UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sebenarnya berkenaan dengan Pasal 23 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajamen Pegawai Negeri Sipil tentang persoalan usia pegawai KPK yang telah mencapai usia 35 tahun yang dikhawatirkan akan kehilangan kesempatan menjadi pegawai ASN. Jadi tidak terkait dengan regulasi/desain tata cara pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN secara umum pada Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 yang di dalamnya mengatur adanya asesmen TWK untuk pemenuhan syarat kesetiaan kepada Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pemerintah yang Sah.

  • Pendapat Ombudsman Rl berkenaan dengan Berita Acara tanggal 25 Mei 2021, bahwa Menteri PANRB, Menteri Hukum dan HAM, Kepala BKN, 5 (lima) Pimpinan KPK, Ketua KASN dan Kepala LAN telah melakukan pengabaian terhadap pernyataan Presiden tersebut dan telah melakukan tindakan maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang terhadap kepastian status dan hak untuk mendapatkan perlakukan yang adil dalam hubungan kerja tidak berdasar hukum.

Bahwa arahan Presiden tersebut telah dilaksanakan dengan melakukan rapat koordinasi pada tanggal tanggal 25 Mei 2021 yang diikuti oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Kepegawaian Negara, dan Kepala Lembaga Administrasi Negara, serta Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, guna menentukan tindak lanjut hasil asesmen Tes Wawasan Kebangsaan dalam pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara.

  • Tindakan korektif yang direkomendasikan Ombudsman RI tidak memiliki hubungan sebab-akibat (causalitas verband) bahkan bertentangan dengan kesimpulan dan temuan LHAP.

Apabila Ombudsman RI konsisten yang ditempatkan sebagai sebab dalam LHAP Ombudsman penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan prosedur dalam proses peralihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN, yang dalam hal ini adalah penyimpangan prosedur penyusunan Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 dan pelaksanaan TWK atas semua pegawai KPK, maka secara kausalitas berakibat kepada semua Pegaai KPK harusnya dinyatakan batal dan harus diulang semua, tidak saja hanya akibat berupa kerugian yaitu ketidaklulusan 75 (tujuh puluh lima) Pegawai KPK dalam Asesmen TWK. Dari konstruksi pemikiran yang demikian jelas antara sebab dengan akibatnya tidak mempunyai hubungan langsung.

Bahwa Andaikan jika benar (quad non), Ombudsman Rl mampu mencari dan menemukan fakta adanya kebijakan dan pelaksanaan Asesmen TWK yang sifatnya diskriminatif terhadap 75 (tujuh puluh lima) orang pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) tersebut, maka Ombudsman Rl baru dapat memberikan masukan adanya tindakan korektif kepada Terlapor. Namun Ombudsman RI ternyata tidak mampu menggali dan menemukan bukti adanya kebijakan maupun pelaksanaan Asesmen TWK yang sifatnya diskriminatif tersebut, maka tidak seharusnya Ombudsman Rl memberikan masukan hanya melakukan tindakan korektif yang dikhususkan terhadap 75 (tujuh puluh lima) pegawai yang dinyatakan TMS tersebut

Para pendiri bangsa berdiskusi mengenai bentuk negara dan dasar negara. Hal itu didasari sebuah kesadaran dan komitmen bahwa negara yang hendak didirikan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia terutama dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Agar tidak jatuh pada penyalahgunaan wewenang dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Konstitusi memuat batas-batas kekuasaan pemerintah dan jaminan atas hak politik rakyat, serta prinsip check and balances antar-kekuasaan yang ada. Konstitusionalisme kemudian memunculkan konsep rechstaat yang di Indonesia diterjemahkan sebagai Negara Hukum.

Negara Hukum menghendaki tidak adanya organ ketatanegaraan yang memiliki kekuasaan tak berbatas ataupun melampaui batas wewenangnya, serta tidak membolehkan adanya organ kekuasaan yang melanggar batasan kekuasaannya.  Negara Hukum memiliki ciri: Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi (HAM); Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya; dan Peradilan yang bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.

Peradilan yang bebas dan tidak dipengaruhi kekuasaan lainnya menurut Oemar Seno Adji, dapat dilihat dari dua sudut, yaitu: independensi zakelijke atau fungsional; dan independensi persoonlijk atau rechtspositionele.  Menandingi, menyertai, bahkan mendahului proses konstitusional yang sedang dilaksanakan oleh lembaga peradilan harus dipandang sebagai perbuatan yang mencederai dan menyerang Negara Hukum, karena akan menghadirkan ketidakpastian hukum.

Bahwa dalam rekrutmen, penggajian, mutasi, jenjang karir dan pemberhentian dalam sebuah organisasi merupakan bagian dari manajemen kepegawaian (staffing). Begitupun dalam struktur organisasi KPK, kegiatan staffing mulai dari rekrutmen sampai pembinaan karir pegawai termasuk didalamnya alih status pegawai KPK yang dilaksanakan dengan TWK adalah bagian dari kegiatan manajemen kepegwaian staffing.

Sementara layanan KPK adalah kegiatan KPK dalam melaksanakan tugas pencegahan korupsi, koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum, supervisi pemberantasan korupsi yang dilaksanakan penegak hukum lain, penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dan pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan.

Penerima layanan publik KPK adalah warga negara personal maupun lembaga yang secara langsung mendapat layanan-layanan tersebut.

Ombudsman di berbagai negara tidak mempunyai yurisdiksi terhadap cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, kecuali terhadap layanan pubik yang diselenggarakan oleh Lembaga yudikatif.

Bahwa praktik Ombudsman tidak memasuki wilayah kompetensi Peradilan sesuai UU Nomor 37 tahun 2008 tentang Ombudsman RI, Pasal Pasal 9 dan Pasal 36, yang menyatakan “Dalam melaksanakan kewenangannya, Ombudsman RI dilarang mencampuri kebebasan hakim dalam memberikan putusan.” Selanjutnya Pasal 36 Ayat (1) Ombudsman menolak Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf a dalam hal: huruf b. substansi Laporan sedang dan telah menjadi objek pemeriksaan pengadilan, kecuali Laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan

Komitmen untuk tidak memasuki kompetensi peradilan dituangkan pada Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas Peraturan OmbudsmanNomor 26 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penerimaan, Pemeriksaan, dan Penyelesaian Laporan.

Oleh karena itulah KPK dengan ini menyampaikan pokok-pokok keberatannya atas Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) Ombudsman RI mengenai Dugaan Penyimpangan Prosedur dalam Proses Peralihan Pegawai KPK menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara tersebut.

***