Demi mewujudkan lingkungan kerja yang inklusif, kesetaraan gender di dunia kerja perlu diperjuangkan. Laki-laki dan perempuan seyogyanya memiliki kesempatan yang sama dalam meniti karier. Namun, perempuan lebih rentan mengalami diskriminasi sehingga permasalahan kesetaraan gender masih menjadi isu yang kompleks sampai saat ini.

Maka dari itu, guna meningkatkan kesadaran akan hak kesetaraan serta memperkuat peran perempuan di lingkungan pekerjaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengadakan Diskusi bertajuk Kuatkan Peran Perempuan KPK Wujudkan Lingkungan Kerja Inklusif, yang digelar di Gedung Juang KPK, Jakarta, Rabu (20/12).

Komisioner Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor, yang menjadi salah satu narasumber menyampaikan, pekerja perempuan harus lebih banyak memiliki kesempatan untuk mendapatkan promosi jabatan, sehingga dapat menghilangkan stigma yang sudah mengakar di masyarakat.

“Ke depannya harus dimotivasi bahwa perempuan juga harus ikut serta dalam promosi jabatan. Pimpinan juga harus mendorong karyawan perempuannya. Kalau tidak ada promosi, berarti masih ada stigma perempuan itu kecerdasannya rendah, atau mereka merasa malu, belum lagi karena proses reproduksi yang memang menyita waktu dan itu dianggap masalah. Itu adalah diskriminasi,” jelas Maria.

Salah satu bentuk ketidakadilan gender adalah kekerasan berbasis gender. Menurut Maria, relasi kuasa jadi penyebab terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja.

“Data Komnas Perempuan, laporan yang langsung mengadu ke Komnas Perempuan cukup tinggi, khususnya kekerasan seksual. Angka yang masuk rata 4.500 kasus-5000 kasus pertahun, dan angka ini angka yang dilaporkan, yang tidak dilaporkan lebih banyak. Maka ketika mengalami indikasi kekerasan silahkan lapor,” pungkasnya.

Kesenjangan Gender dalam Birokrasi

Pada kesempatan yang sama, National Gender Advisor Prospera Hartian Silawati menjelaskan,   kesenjangan gender yang turut terjadi dalam birokrasi membuat hambatan-hambatan yang dialami pekerja perempuan menjadi tak kasat mata.

“Tiga hambatan utama yang menjadi kendala bagi kemajuan karier perempuan adalah faktor domestik, tugas pengasuhan, cuti melahirkan, 80 persen menjadi hambatan. Yang kedua ini paling penting faktor lingkungan kerja, nah, yang ketiga adalah hambatan individu,” ujar Hartian.

Bahkan, mayoritas perempuan sebanyak 61 persen melaporkan bahwa mereka secara pribadi pernah mengalami atau terkena dampak hambatan-hambatan tersebut.

Menurut data, proporsi perempuan yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) sedikit lebih tinggi dari proporsi laki-laki. Perempuan merepresentasikan sekitar 16 persen dalam kepemimpinan birokrasi.

Kendati begitu, presentasi proposi perempuan lebih rendah pada jabatan Eselon I dan Eselon II. Pada Eselon I proporsi perempuan hanya sebesar 16 persen, sedangkan pada Eselon II perempuan proposi perempuan hanya sebesar 14 persen. Data tersebut konsisten selama lima tahun terakhir.

Sementara itu, rata-rata usia di tingkat Eselon III-IV adalah 43,5 tahun, dan hanya 16 persen yang merupakan generasi milenial di rentang usia 26-35 tahun.

Lebih lanjut, lingkungan kerja yang inklusif dapat dibangun dengan membuat praktik-praktik tempat kerja yang ramah keluarga dan inklusif, worklife balance, serta sesuai dengan budaya berakhlak.

Selain itu, mengusung pelatihan pengelolaan keberagaman untuk para pimpinan dan semua pegawai dengan materi sensitivitas gender & bias yang tidak disadari (unconscious bias), hingga menyediakan fasilitas ramah gender untuk mendukung perempuan yang memiliki tugas reproduktif untuk mencapai kinerja optimalnya.

“Memang kita sampaikan bahwa sistem manajemen kinerja harus bagus, atasan yang perhatian, memilih bawahan yang benar-benar memiliki integritas, kalau ASN integritas itu kan kompetensi,” tutup Hartian.

Diskusi Kuatkan Peran Perempuan KPK Wujudkan Lingkungan Kerja Inklusif merupakan bagian dari rangkaian kegiatan puncak Peringatan Hari Ibu (PHI) Tahun 2023, yang tutup dengan sesi ‘KPK Berkain’.