Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima audiensi Universitas Syiah Kuala Aceh dalam rangka membahas dan memperkuat kerja sama. Audiensi yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (23/6) dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala M. Gaussyah, Dosen Fakultas Hukum  M. Putra Iqbal, serta anggota LSM Hutan Alam dan Lingkungan Aceh Jehalim Bangun dan Fahmi.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam sambutannya menyampaikan, bahwa fungsi pencegahan bisa dilakukan melalui penguatan kerja sama dengan perguruan tinggi seperti Universitas Syiah Kuala. “Pada dunia pendidikan, sikap yang teguh mempertahankan prinsip dan tidak mau korupsi, menjadi dasar yang melekat pada diri sendiri sebagai nilai moral,” ungkap Ghufron.

Sambungnya, sebuah nilai integritas tidak akan terlepas dari upaya seseorang untuk menjadi pribadi yang utuh dan terpadu pada setiap diri yang berlainan. Bekerja dengan baik dan menjalankan fungsinya sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.

“Keutuhan dan keefektifan seseorang sebagai insan manusia sangat berkaitan dengan integritas. Selama ini, pada sektor area kehutanan dan pertambangan sejak awal proses sudah melanggar hukum, sehingga mengakibatkan ekosistem yang sulit dihitung kerugiannya oleh BPK dan BPKP, ditambah lagi dengan adanya tindak pidana korupsi,” jelas Ghufron.

Langkah untuk memasukkan aspek ekosistem dalam menghitung kerugian negara dari sektor lingkungan, menurut Ghufron masih sedikit rumit dalam perhitungan. Kemudian, BPK dan BPKP tentu memiliki kesulitan untuk memasukkan potensi kerugian tersebut sebagai bagian dari tindak pidana korupsi.

“Untuk itu, KPK sangat menyambut baik atas masukan dan dorongan dari Universitas Syiah Kuala melalui audiensi perkuat kerja sama. Hal tersebut menjadi bagian tugas dari KPK dalam menegakkan hukum, selain melakukan monitor terhadap penyelenggara negara, KPK juga melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan tindak pidana korupsi,” ujar Nurul.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata juga mengatakan audiensi sebagai bentuk bersinergi dalam meningkatkan kerja sama dan koordinasi pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan masih banyak putusan yang tidak dapat dieksekusi, sehingga menjadi perhatian bersama termasuk dari Direktorat Monitoring KPK.

“Hal tersebut menjadi salah satu kegiatan KPK berdasarkan Undang-Undang, seperti memastikan bahwa sistem tata kelola di pemerintahan berjalan dengan baik. Koordinasi juga dibutuhkan kepada setiap pengadilan dan aparat penegak hukum di daerah, jadi kita bisa mengetahui putusan yang sudah inkrah tetapi tidak bisa dieksekusi,” kata Alex.

Menurutnya, itu juga menjadi perhatian KPK untuk melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), sehingga dari pihak MA juga menaruh perhatian. KPK perlu mendorong hal tersebut dilakukan karena menyangkut kewibawan pengadilan.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, M. Gaussyah juga menyampaikan sejumlah kendala terkait kerja sama dalam perekaman sidang tindak pidana korupsi selama ini. Sejumlah sidang tidak bisa ditayangkan lantaran adanya pembatasan perekaman.

“Memang perekaman sidang ini terkendala dan belum maksimal pasca pandemi, untuk perekaman sidang saat ini mulai dibatasi. Sehingga, kami di Aceh merasakan kesulitan dalam lima tahun terakhir saat perekaman sidang,” ujarnya.

Terakhir, Gaussyah berharap agar kedepannya kerja sama perekaman sidang diperkuat. Yakni dengan penayangan perekaman sidang kasus tindak pidana korupsi yang ditangani KPK, kasus perkara tindak pidana korupsi yang disupervisi dan kasus perkara tindak pidana korupsi atas permintaan dari pihak universitas.