Dunia bisnis sangat rentan dengan perilaku korupsi. Dari data Transparency International Indonesia di tahun 2017, sebanyak 80% kasus korupsi melibatkan pihak swasta.  Suap, menjadi salah satu senjata ampuh bagi pihak swasta untuk memperoleh peluang bisnis. Hal itu diungkapkan oleh Dosen Paramadina Ahmad Khoirul Umam saat Seminar Pencegahan Korupsi di Sektor Sumber Daya Alam, Selasa (18/2).

“Sekitar 82 persen pebisnis di sektor tambang menyatakan bahwa suap terbukti ampuh untuk mendapatkan peluang bisnis,” ungkap Umam.

Menurutnya hal itulah yang membuat pihak swasta masih mengandalkan uang pelicin demi melancarkan usahanya. Dalam penelitian itu juga, Umam juga menemukan 62 persen responden merupakan saksi mata yang melihat praktik suap yang dilakukan perusahaannya.

“Mereka mengkonfirmasi bahwa praktik suap sudah menjadi perilaku yang sehari-hari.”

Selain itu, lewat penelitian itu Umam juga mengungkapkan bahwa 58 persen perusahaan tambang yang menjadi responden memiliki kedekatan dengan sektor politik atau pemerintahan.

“Mereka mengatakan bahwa relasi tersebut sangat membantu mereka untuk menjalankan bisnisnya,” katanya.

Melihat fakta ini, Umam berharap agar pemerintah segera membuat regulasi yang mengatur kewajiban transparansi para penerima manfaat atau Beneficial Ownership.

“Pemerintah harus bisa membuka beneficial ownership perusahaan itu. Agar ketauan ‘link’ perusahaan itu ke siapa saja”.

Dengan begitu, menurutnya, penegakan hukum atas semua tindak pidana yang dilakukan perusahaan itu, termasuk korupsi dan perusakan alam, bisa dilakukan dengan tegas.

Selain itu, Umam juga menghimbau agar pemerintah segera membuat aturan yang mewajibkan para pelaku usaha memiliki sistem pencegahan korupsi di masing-masing perusahaan.

“Karena masih banyak perusahaan tambang yang belum memiliki sistem pencegahan korupsi diperusahaannya.”

Senada dengan Umam, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono juga menghimbau agar setiap perusahaan memiliki sistem pencegahan korupsi agar dapat mencegah praktik korupsi di dalam lingkungan perusahaan.

Menurutnya, hal itu menjadi penting apalagi sejak terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi, KPK sudah bisa menindak korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

“Konsep pertanggungjawaban pidana telah bergeser, dari individu menjadi korporasi yang bisa dipidana,” ujar Giri.

Seminar ini merupakan kerjasama KPK, Universitas Paramadina, Indonesia Global Impact Network (IGIM), dan SKK Migas untuk berbagi ilmu dan menemukan solusi dari permasalahan korupsi di sektor Sumber Daya Alam.

Selain Umam, KPK turut mengundang narasumber lainnya seperti Akademisi dari Universitas Paramadina Prof. Firmanzah, Ketua Umum PERHAPI Rizal Kasli, IPA Ethics and Compliance Commite Ronny Siahaan dan Kepala Satuan Tugas Kkerja Khusus Minyak & Gas Bumi SKK Migas Dwi Soetjipto.