KPK Dorong Pembenahan Tata Kelola di Sulawesi Tenggara, Soroti Titik Rawan Korupsi dan Penggunaan Anggaran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menegaskan komitmennya untuk mendorong tata kelola pemerintahan yang baik dan akuntabel di daerah. Dalam rapat koordinasi pencegahan korupsi bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (19/6), sejumlah langkah konkret disepakati, mulai dari penataan aset, persoalan tambang, hingga pengawasan sektor pajak dan pengadaan.
Plt. Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK, Agung Yudha Wibowo, menekankan bahwa pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan di permukaan. Menurutnya, korupsi di daerah harus dicegah secara menyeluruh, dari hulu hingga hilir.
“Kalau kita tidak tahu masalahnya, bagaimana bisa menyelesaikannya. Sampai dengan Triwulan I 2025, korupsi paling tinggi di daerah berasal dari sektor swasta dengan 483 kasus, kemudian disusul oleh eselon I-IV dengan 437 kasus,” kata Agung.
Ia juga mengungkapkan, masih tingginya tingkat korupsi di daerah tidak lepas dari berbagai persoalan, baik teknis maupun politis. Ketidaksinergian antara kepala daerah dan DPRD, mahalnya ongkos politik, hingga relasi kekuasaan yang rawan kolusi menjadi penyebab utama.
“Kepala daerah dan DPRD seringkali tidak bersinergi. Padahal, mereka adalah aktor utama dalam tata kelola pemerintahan daerah. Kita tidak boleh tidak tahu atau memilih diam,” tambahnya.
Agung juga menyoroti korelasi antara tingginya angka korupsi di daerah dengan lambatnya pembangunan dan rendahnya kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak untuk kembali pada semangat pemberantasan korupsi sebagaimana yang tercantum dalam visi Asta Cita Presiden RI.
Titik Rawan Korupsi di Daerah
Lewat forum ini, KPK juga menekankan pentingnya mengidentifikasi sejak awal titik-titik rawan yang kerap menjadi celah munculnya praktik korupsi. Korupsi, menurut KPK, kerap bersembunyi di balik praktik yang dianggap lazim namun ternyata menyimpang. Titik rawan tersebut antara lain:
- Perencanaan: Munculnya proyek fiktif, pokok pikiran (pokir) tanpa kajian, hibah tidak transparan, hingga RPJMD yang tidak relevan dengan kebutuhan riil daerah.
- Penganggaran: Celah legalisasi penyimpangan, seperti mark up anggaran dan proyek siluman.
- Pengadaan barang dan jasa (PBJ): Sekitar 90 persen kasus korupsi terjadi di sektor ini.
- Perizinan dan pelayanan publik: Proses yang berbelit, tidak transparan, dan tidak pasti.
- Pengelolaan aset daerah: Banyak aset tidak terdata atau bahkan dijaminkan ke bank.
- Manajemen ASN: Maraknya jual-beli jabatan, rotasi tidak berdasar, dan pelaksana tugas (PLT) yang tak kunjung definitif.
- Pendapatan daerah: Kurangnya inovasi, hanya mengandalkan kebijakan pusat.
- Pengawasan internal (SPI/APIP): Masih lemah, mudah diintervensi, hingga adanya pembiaran atas pelanggaran.
APBD Tinggi, Belanja Pegawai Mendominasi
Tahun 2025, Pemprov Sultra menetapkan APBD sebesar Rp5 triliun. Dari jumlah itu, PAD ditargetkan Rp1,7 triliun—menunjukkan potensi besar yang masih bisa dioptimalkan, termasuk dari sektor pajak daerah, air tanah, dan alat berat.
Namun, belanja pegawai menjadi sorotan karena mencapai Rp1,34 triliun atau sekitar 49 persen dari total belanja. Sementara itu, alokasi belanja modal untuk pembangunan gedung sebesar Rp255 miliar, untuk jalan, jaringan, dan irigasi sebesar Rp222 miliar, serta belanja hibah sebesar Rp74 miliar.
Di sektor pengadaan, tercatat sebanyak 2.266 paket pengadaan langsung dalam struktur APBD. Jumlah yang tidak wajar ini disinyalir sebagai bentuk pemecahan paket agar menghindari proses lelang terbuka.
“Paket sebanyak ini ada indikasi pemecahan pada anggarannya. Oleh karena itu, pihak inspektorat harus mengetahui soal ini. Hal seperti inilah yang menyebabkan masih banyaknya praktik korupsi di daerah,” pesan Agung.
Komitmen Perbaiki Indeks Integritas
Masih rendahnya indeks integritas juga menjadi perhatian. Pada 2024, nilai Survei Penilaian Integritas ( SPI) dan Monitoring Controlling Surveillance fot Prevention (MCSP) Pemprov Sultra masing-masing tercatat 71,94 dan 37,38. Nilai tersebut dinilai belum mencerminkan sistem pengawasan dan pencegahan korupsi yang kuat.
“Tujuan kami hadir saat ini sebab rendahnya nilai indeks korupsi di wilayah Sultra, sehingga perlu dicari penyebabnya. Dengan demikian, untuk mengetahuinya, kami tidak bisa berjalan sendiri dan perlu bertanya kepada KPK,” ujar Gubernur Sultra, Mayjen TNI (Purn) Andi Sumangerukka.
Ia mengakui, Pemprov Sultra masih dalam tahap adaptasi terhadap sistem pencegahan korupsi yang utuh dan menyeluruh. Apalagi, ketika dirinya dilantik, anggaran 2025 sudah terlanjur disahkan, sehingga ruang gerak dalam penganggaran cukup terbatas.
“Kami berharap KPK dapat memberikan arahan dan petunjuk bagi kami terhadap kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan korupsi. Kami juga berharap dengan pengetahuan pencegahan korupsi yang memadai, Pemprov Sultra mampu menggunakan anggaran secara maksimal sesuai ketentuan,” tutur Agung.
Rekomendasi dan Tindak Lanjut
KPK menyatakan siap membantu Pemprov Sultra membenahi berbagai persoalan tata kelola. KPK mendorong agar pemerintah daerah bersurat kepada kementerian/lembaga terkait dan menembuskan ke KPK untuk mempermudah pemantauan dan pendampingan lapangan.
“Pemda dapat berkoordinasi ke kementerian untuk dikirimkan para pengawas internal yang andal dan kompeten. Kemudian, perlu memperkuat kompetensi pengawas internal, serta berkoordinasi dengan APH dalam penanganan kasus dengan mengedepankan keterbukaan agar penindakan berjalan sesuai ketentuan perundang-undangan,” tutup Agung.
Sebagai tindak lanjut, KPK akan menggelar rapat koordinasi lanjutan guna memperdalam isu-isu krusial di Sultra. Langkah strategis KPK lainnya antara lain mengefektifkan penegakan hukum tindak pidana korupsi, memperbaiki tata kelola daerah dengan risiko tinggi, memperkuat sinergi multipihak, serta menghidupkan peran serta masyarakat dalam pengawasan.