Tuhan memberikan berkah tersendiri bagi Indonesia dalam bentuk sumber daya alam. Sayangnya, belum dikelola secara optimal. Perlu inisiatif, agar semua pihak bersinergi memperbaiki tata kelola.

Ironi itu bernama Indonesia. Meski kekayaan alam melimpah-ruah, namun rakyatnya tak kunjung makmur dan sejahtera. Pengelolaan sumber daya alam, bisa dibilang, masih semrawut.

Setidaknya itu yang ditemukan pada kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama empat tahun terakhir.

Namun, kenyataan itu tak sepantasnya membuat kita putus asa. Dalam rincian rekomendasi yang dikeluarkan KPK, sinergi adalah kata kunci. Semua pihak yang terkait, dirangkul, duduk bersama dan memikirkan solusi terbaik agar kesejahteraan bisa dirasakan semua, tanpa terkecuali.

Maka, pada Maret 2015 KPK menjalin kerja sama dengan lintas lembaga, yang tujuannya menjamin kekayaan alam Indonesia tetap dinikmati secara berkeadilan. KPK menggandeng 20 kementerian, tujuh lembaga negara serta 34 pemerintah provinsi, untuk menandatangani Nota Kesepahaman Bersama (MoU) Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN SDA) Indonesia. Kegiatan ini digelar di Istana Negara, Jakarta, pada 19 Maret 2015. Ini merupakan terobosan penting di bidang pencegahan korupsi sektor sumber daya alam.

Presiden Joko Widodo dan pimpinan seluruh lembaga menyaksikan langsung peresmian komitmen bersama rencana aksi penyelamatan SDA ini. Ini seolah menjadi tonggak dimulainya sinergi dan usaha bersama dalam menjaga potensi penerimaan dari kekayaan hayati di Tanah Air. KPK meyakini, penyelamatan kekayaan alam itu dapat memberi sumbangsih besar bagi negara, minimal diperkirakan ada penambahan PNBP sebesar Rp 20 triliun.

Nota kesepahaman yang diimplementasikan mulai Apri 2015 ini memperluas cakupan kerja sama antara KPK dengan sesama lembaga negara. Tiga tahun sebelumnya, rencana aksi KPK baru mengawasi pengelolaan tambang mineral dan batubara (minerba) dan pengukuhan kawasan hutan. Kemudian diperluas hingga bidang kelautan dan perkebunan.

Sinergi di bidang pengelolaan pertambangan minerba, memiliki lima sasaran dan target kegiatan. Antara lain, pelaksanaan penataan Izin Usaha Pertambangan (IUP) minerba, pelaksanaan kewajiban keuangan pelaku usaha pertambangan minerba, pengawasan produksi pertambangan minerba, pelaksanaan kewajiban pengolahan/ pemurnian hasil tambang minerba, dan pengawasan penjualan dan pengangkutan hasil tambang minerba.

Rekomendasi ini, merupakan refleksi dari potensi kehilangan penerimaan pajak dari bisnis batubara yang mencapai Rp 28,5 triliun, itu baru merujuk data 2012 saja. Tak semua pengusaha batubara tertib melaporkan hasil ekspornya kepada otoritas terkait, khususnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Ada pula hasil temuan Tim Optimalisasi Penerimaan Negara yang menunjukkan dugaan kurang bayar PNBP oleh pelaku usaha tambang dari 2003-2011 sebesar Rp 6,7 triliun.

Dampak langsung kegiatan sinergi ini, sangat signifikan. Telah dilakukan pencabutan 1.097 IUP ilegal di 19 provinsi, dan meningkatnya kepatuhan pelunasan kewajiban pembayaran royalti. Sehingga, PNBP Mineral dan Batubara meningkat hingga Rp 10 triliun.

Tak hanya itu, Ditjen Minerba Kementerian ESDM juga telah menyerahkan data IUP Non-Clean & Clear (CNC) kepada seluruh pemerintah provinsi agar pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan penataan perizinan. Status kawasan hutan oleh Kementerian ESDM dengan Kementerian Kehutanan juga telah disinkronisasi.

Di Laut Kita (Belum) Berjaya

Luas Indonesia yang 70 persen wilayahnya berwujud perairan terbukti belum meraup manfaat sesuai potensinya. Kajian KPK menunjukkan kontribusi PNBP sektor kelautan hanya menyumbang 0,3 persen dari total nilai produksi. Jika ditarik hingga lima tahun sebelumnya, bisnis kelautan yang ragamnya banyak, negara hanya memperoleh lebih kecil dari 0,02 persen dari total penerimaan pajak nasional.

Karena itu, KPK mulai serius mengawasi pelaksanaan bisnis kelautan. Hasilnya, banyak sekali 'lubang' dari sisi penerimaan negara yang rentan dipicu perilaku koruptif. Salah satu yang disoroti adalah bisnis kapal penangkap ikan. Untuk kapal berbobot di atas 30 Gross Ton (GT), belum semuanya bersedia membayar PNBP. Lebih dari 70 persen dari 1.444 perusahaan yang terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), belum teridentifikasi mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.

Berdasarkan kajian KPK, terdapat empat poin penting kebocoran di bidang kelautan. Yakni penyusunan tata ruang laut wilayah, penataan perizinan kelautan dan perikanan, pelaksanaan kewajiban para pihak serta pemberian dan perlindungan hak-hak masyarakat.

Sebagai tindak lanjut pengawasan sektor ini, KPK bersama KKP menggelar kegiatan monitoring dan evaluasi yang diikuti 34 pemerintah provinsi. Dalam rapat bersama itu, KPK merekomendasikan para pemangku kepentingan, untuk berbenah. Antara lain, pembentukan satgas pencurian ikan, verifikasi dan evaluasi pelaku usaha perikanan, penerbitan peraturan terkait pengelolaan kegiatan usaha perikanan, pelimpahan kewenangan perpanjangan kapal ukuran lebih dari 30-60 GT kepada UPT dan Provinsi. KKP juga sedang melakukan proses revisi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2006 tentang PNBP.

Sejumlah rekomendasi itu telah berdampak positif. Otoritas kelautan Indonesia berhasil melakukan verifikasi kapal ikan eks asing sebanyak 1.132 unit, penenggelaman 80 unit kapal sepanjang Desember 2014-Agustus 2015 (sebanyak 41 unit oleh KKP, 34 unit oleh TNI AL dan 5 unit oleh Polri), serta percepatan proses pengalihan pengelolaan kawasan taman laut, dari KLHK ke KKP.

Supaya Hutan Tetap Lestari

Isu kehutanan dan perkebunan juga menjadi fokus kajian KPK sepanjang 2015. KPK telah memaparkan hasil Kajian Sistem Pengelolaan PNBP dan Penatausahaan Kayu kepada pihak terkait.

KPK menemukan, data produksi yang tercatat ternyata jauh lebih rendah daripada volume kayu yang dipanen dari hutan alam di Indonesia. Hasil kajian menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama tahun 2003-2014 mencapai 630,1 sampai 772,8 juta meter kubik.  Sedangkan menurut statistik resmi KLHK, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama tahun 2003-2014 secara keseluruhan hanya mencapai 143,7 juta meter kubik.

Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK hanya mencatat 19-23% dari total produksi kayu selama periode kajian, sedangkan 77-81% tidak tercatat. Artinya, biaya pemeliharaan hutan sangat besar, namun PNBP dari sektor itu tidak dikelola dengan baik. Potensi kerugian keuangan negara akibat PSDH dan DR yang tidak terpungut sebesar Rp 5,24-7,24 trilliun per tahun dari 2003-2014.

Selain itu, KPK juga menemukan sejumlah kelemahan dalam sistem administrasi PNBP Kehutanan, antara lain lemahnya sistem data dan informasi; pengendalian internal tidak memadai untuk memastikan akuntabilitas tata usaha kayu dan pemungutan PNBP; mekanisme akuntabilitas eksternal tidak memadai untuk mencegah kerugian negara; terbatasnya efektivitas penegakan hukum kehutanan; serta tarif royalti di sektor kehutanan ditetapkan pada tingkat yang memfasilitasi pengambilan rente ekonomi yang sangat terbatas oleh pemerintah dan memberikan insentif implisit bagi pengelolaan hutan yang tidak lestari.

Selain melakuan pembenahan sektor PNBP Kehutanan, dalam rangka perbaikan tata kelola di sektor kehutanan, KPK juga mendorong proses percepatan pengukuhan kawasan hutan, melalui instrumen Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehutanan, Menteri Pekerjaan Umum dan Kepala BPN tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah yang berada di dalam Kawasan Hutan, mendorong perluasan wilayah kelola masyarakat melalui percepatan realisasi perhutanan sosial serta mendorong keterbukaan informasi publik dan penguatan instrumen antikorupsi.

Korupsi di sektor SDA tidak hanya persoalan kerugian keuangan negara akan tetapi juga persoalan kegagalan negara dalam mengelola SDA untuk sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran rakyat. Oleh karenanya, dengan perbaikan tata kelola ini, KPK berharap bisa mewujudkan cita-cita yang diamanatkan konstitusi bahwa negara menguasai bumi, air dan semua kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kesimpulannya, dalam satu dekade terakhir potensi penerimaan negara dari pengelolaan kekayaan alam tidak berbanding lurus dengan realisasi di lapangan. Ketika bisnis berbasis sumber daya alam tak dikelola transparan dan akuntabel, ujungujungnya negara dirugikan akibat rendahnya penerimaan dari sektor pertambangan, kelautan, dan kehutanan.

Top