Dalam proses penanganan suatu perkara pada sistem peradilan, termasuk dalam sistem peradilan pidana, barang bukti menjadi salah satu komponen yang pasti melekat dan diperlukan untuk mengungkap kebenaran materiil mengenai duduk permasalahan suatu perkara / tindak pidana. Sistem peradilan pidana tidak mungkin dapat berjalan dan dapat mendekati kebenaran materiil tanpa hadirnya barang bukti.

Para hamba hukum dalam hal ini, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim pasti akan menyertakan barang bukti menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengungkapan dan penyelesaian suatu tindak pidana. Dengan kata lain, akan menjadi masalah besar apabila ada dugaan tindak pidana dan dilanjutkan proses peradilannya, namun tidak disertai dengan adanya barang bukti.

Untuk memperoleh barang bukti dalam mengungkap suatu tindak pidana, berbagai strategi dan metode dapat dilakukan oleh Penyidik, antara lain melalui olah tempat kejadian perkara (TKP), penyerahan sukarela oleh para saksi atau pihak lain dan sebagainya. Apabila berbagai macam cara telah ditempuh oleh Penyidik, namun tetap tidak mendapatkan barang bukti, terkadang upaya paksa menjadi ikhtiar terakhir oleh Penyidik untuk mendapatkannya yakni melalui tindakan penyitaan. Kejelian Penyidik dan Penuntut Umum untuk memilah dan memilih benda/barang mana yang akan dijadikan barang bukti dalam proses penyitaan dan prapenuntutan, juga bagaimana cara mengamankan barang bukti menjadi hal yang juga sangat dibutuhkan dalam proses penyitaan. Termasuk menjaga nilai (value) suatu barang bukti agar tidak menjadi under value. Hal demikian juga berlaku terhadap barang bukti/benda sitaan dan barang rampasan dalam penanganan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.

Secara terminologi ada beberapa istilah yang terkait dengan barang bukti, antara lain :
1. Benda sitaan negara (basan);
2. Harta kekayaan;
3. Barang rampasan negara (baran).

yang maknanya secara filosofi dan legalistik formil juga perlu diketahui dan difahami oleh para pemangku kepentingan guna dapat memperlakukan barang bukti dengan sebaik-baik perlakuan.

Ada kecenderungan dalam penyitaan pada perkara Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat TPK) dan/atau Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat TPPU), terdapat benda sitaan yang kemudian dijadikan barang bukti berupa harta kekayaan (lihat definisi Harta Kekayaan menurut UU TPPU) yang terdiri dari beragam aset bernilai ekonomi tinggi, seperti : kendaraan (motor / mobil mewah), tanah dan/atau bangunan, apartemen, lahan pertanian/peternakan, pabrik, Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) dan sebagainya hingga saat ini belum optimal dalam pengelolaannya. Belum lagi masa penyimpanan benda sitaan pada tahap penyidikan sampai dengan perkara berkekuatan hukum tetap (inkracht) akan berlangsung lama, sehingga pada tahap eksekusi barang bukti/barang rampasan yang masih disimpan dapat mengalami kerusakan, baik fisik maupun fungsinya. Kondisi demikian akan sangat berpengaruh terhadap rentannya penurunan nilai dari suatu barang bukti apabila dilelang dikemudian hari yang mana uang hasil dari pelelangannya disetor ke kas negara sebagai bentuk pemulihan aset (asset recovery) dan menjadi bagian dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Pada satu sisi, terhadap benda sitaan / barang bukti yang mempunyai nilai ekonomi tinggi itu dibutuhkan perlakuan-perlakuan khusus yang bertujuan untuk menjaga kondisi benda sedemikian rupa sehingga mendekati dengan kondisi ketika benda atau barang tersebut disita atau diserahkan. Perlakuan-perlakuan khusus itu diantaranya dengan menyediakan ruang penyimpanan dan perawatan khusus serta biaya perawatan yang juga tinggi termasuk dengan menugaskan personil-personil khusus untuk mengelolanya.

Penyimpanan barang bukti/benda sitaan negara sejatinya menjadi tugas dari Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan). Rupbasan merupakan salah satu institusi yang menjadi pemangku kepentingan dalam proses peradilan pidana dan menjadi titik penting yang menentukan terpelihara dan terjaganya nilai suatu benda sitaan sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun peran dari Rupbasan hingga saat ini belum dapat dioptimalkan untuk menjadi bagian penting dalam proses peradilan pidana dalam hal mengelola dan menjaga nilai dari benda sitaan/barang bukti. Secara finansial dan kelembagaan, peran Rupbasan masih dibatasi dengan alokasi anggaran yang tersedia, belum idealnya tempat penyimpanan benda sitaan/barang bukti yang tersedia, postur organisasi dan personil/sumber daya manusia di Rupbasan yang masih belum ideal serta lokasi kantor Rupbasan yang tidak selalu ada di setiap Kabupaten/Kota di Indonesia.

Para pemangku kepentingan dalam proses penganggaran, manajemen benda sitaan negara dan pelelangan/pemanfaatan barang rampasan negara perlu duduk bersama untuk menyambung jejaring kerja dan menyampaikan ide, gagasan dan perspektifnya guna mewujudkan saling pemahaman dan terejawantahkannya tata laksana benda sitaan dan barang rampasan negara yang efektif dan efisien serta pemulihan aset yang optimal menuju pemulihan asset 90 % selama kurun waktu 2015 – 2019 sebagaimana diamanatkan dalam strategi nasional pencegahan dan pemberantasan korupsi.

Adapun permasalahan yang dihadapi adalah sebagai berikut:

  • Belum optimalnya tata laksana pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara sehingga berdampak pada tidak optimalnya pemulihan aset dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
  • Belum adanya perangkat hukum baik lembaga maupun aturan yang ideal guna mengatur secara khusus mengenai pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan;
  • Ketersediaan anggaran dalam pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan yang belum memadai;
  • Keterbatasan Sumber Daya Manusia yang terlatih dalam pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan.

Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menginisiasi diselenggarakannya rapat koordinasi: tata laksana benda sitaan dan barang rampasan dalam rangka pemulihan aset hasil tipikor yang diselenggarakan pada 21 hingga 23 November 2016 di Jakarta. Kegiatan ini bertujuan untuk:

  • Mendorong optimalnya pemulihan aset dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);
  • Mendorong terwujudnya standarisasi dalam pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan di semua K/L terkait;
  • Mendorong reformasi tata kelola benda sitaan dan barang rampasan hasil tindak pidana korupsi sebagai upaya optimalisasi pemulihan aset bersama dengan Bappenas dan KSP sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016 dan Tahun 2017.

Berikut adalah bahan materi pada kegiatan ini:
01 Pidato Pembukaan Tata Laksana Pengelolaan Benda Sitaan dan Barang Rampasan - Ketua KPK
02 Pentingnya Sinkronisasi Tata Laksana Pengelolaan Benda Sitaan - Ketua KPK
03 Rakor Tata Laksana Benda Sitaan dan Barang Rampasan - Kantor Staf Presiden
04 Analisa dan Pengelolaan Barang Bukti - Kepolisian RI
05 Evaluasi Terkait Asset Recovery - Kementerian PPn Bappenas
06 Fungsi Rupbasan - KemenkumHAM RI
07 Kebijakan Sitaan dan Barang Rampasan - Dirjen Pemasyarakatan KemenkumHAM RI
08 Kebijakan Sitaan dan barang Rampasan - Jaksa Agung RI
09 peran Kemenkeu dalam Pemulihan aset TPK - Kementerian Keuangan RI
10 Peran Kementerian ATR BPN - Kementerian ATR/BPN

Top