Upaya pemberantasan korupsi tak bisa dengan memangkas yang terlihat saja. Melainkan harus dengan gerakan sosial yang luas dan mendalam, mengarah pada perubahan sosial budaya. Gerakan sosial pemberantasan korupsi merupakan kebangkitan masyarakat untuk bersama-sama mengoreksi kondisi dan menghadirkan kehidupan lebih baik. Tujuan akhirnya tidak hanya perubahan sikap dan perilaku individu di dalam masyarakat itu sendiri, melainkan juga memunculkan tatanan sosial baru yang bebas dari korupsi.

Adalah keluarga, sebagai unit terkecil masyarakat, yang diharapkan menjadi inti gerakan sosial pemberantasan korupsi di Indonesia. Keluarga dapat memengaruhi individu dan berperan signifikan membangun budaya antikorupsi, sehingga menjadi sandaran harapan, tuntutan, dan keinginan dari sistem sosial yang lebih besar.

Keluarga juga merupakan pendukung kekuatan potensial generasi mendatang yang akan mengambil alih kepemimpinan negeri ini. Dalam rangka mengawali gerakan sosial inilah, pada 2012 -2013, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan baseline study menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif untuk memetakan kondisi keluarga di Kota Yogyakarta dan Kota Solo dan persepsi mereka terhadap korupsi. Hasil baseline study ini kemudian dijadikan acuan dalam penyusunan konsep intervensi Program Pembangunan Budaya Antikorupsi Berbasis Keluarga.

  • Hanya ada sekitar 50% keluarga yang mengetahui fungsi sosialisasi dan fungsi afeksi, 37% fungsi identitas sosial. Bahkan terkait dengan fungsi utama terkait fungsi sosialisasi, hanya ada 4% saja ayah – ibu dalam keluarga yang menganggap bahwa fungsi sosialisasi merupakan fungsi utama dalam keluarga.
  • Dari seluruh responden (Ayah, Ibu, anak), hanya 4.5% (ayah, ibu dan anak sama – sama tahu) mengetahui peran ayah dan ibu sebagai pendidik. Sebesar 45% responden mengatakan jika Ayah dan Ibu mengetahui peran penting Ayah dan Ibu sebagai pendidik namun anak hanya mengetahui peran Ibu sebagai pendidik. Mayoritas anak merasa bahwa hanya ibu yang berperan sebagai pendidik. Karena anak menganggap ayah berperan sebagai pencari nafkah. Hal ini dikarenakan anak hanya merasa bahwa yang mendidik adalah ibunya karena anak memiliki hubungan emosional dan intensitas pertemuan yang tinggi dengan ibunya pada umumnya.
  • Nilai kejujuran merupakan nilai terbesar kedua yang diinternalisasi oleh orangtua (ayah dan ibu) terhadap anak. Hal ini terbukti dikonfirmasi kembali oleh anak. Meskipun demikian, dari sisi sinergi lebih dari 40% keluarga yang sama-sama tidak menerapkan nilai kejujuran untuk diinternalisasi. Hanya 4% keluarga yang sama-sama menerapkan nilai kejujuran untuk diinternalisasi. Ayah dan ibu di kota Solo menginternalisasi kejujuran sebagai nilai utama kemudian nilai sholeh/shalehah menjadi nilai kedua. Di Jogya masih kental dengan ritual budaya (bagian dari agama).
  • Kejujuran lebih dominan dimaknai dengan perkataan/lisan, belum sampai pada tindakan. Belum ada pemahaman mengenai hubungan antara ketidakjujuran dengan tindakan/perbuatan korupsi. Tidak bisa langsung dihubungkan. Anak berbuat tidak jujur karena takut dimarahi orangtua.
  • Kesuksesan dikaitkan dengan aspek materi; Mandiri , Berhasil dalam pendidikan, Berhasil dalam Cita. Masyarakat Modern dan Materialistis. Belum dikaitkan dengan nilai yang tertanam di diri anak. Lebih kepada output yang bersifat fisik.
  • Masyarakat belum bisa membayangkan dengan jelas bagaimana gambaran negeri ini tanpa korupsi.

Selanjutnya, berdasarkan hasil kajian tersebut, KPK menyusun strategi intervensi Program Pembangunan Budaya Antikorupsi Berbasis Keluarga. Dan salah satu inovasi yang dilakukan, KPK membuat modul Pencegahan Korupsi Berbasis Keluarga, yang diperuntukkan untuk Relawan GenAksi.

Informasi selengkapnya dapat diunduh melalui link berikut:

[file_download url="images/tema/litbang/pengkajian/pdf/2016/Panduan-relawan-genAksi-modul-pencegahan-korupsi-berbasis-keluarga.pdf" show_title="no" color="#666" background="#fff" icon="icon: download" show_count="no" show_like_count="no"]

Top