Pada tahun 2016 ini Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan kajian Tata Kelola Obat dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Kajian ini dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain:

  • Belanja obat di Indonesia cukup tinggi, berkisar 40% dari belanja kesehatan, sedangkan di Negara maju seperti Jepang hanya berkisar 19% dan Jerman 15% (sumber: WHO, 2006)
  • Harga obat di Indonesia merupakan yang termahal di ASEAN (sumber: HAI, 1995)
  • Perbandingan harga obat generic dengan generic bermerk cukup tinggi, yaitu 1:2 hingga1:40 (sumber: FK UGM)
  • Pemakaian obat generic masih relative rendah, baru mencapai 60-70% (sumber: Kemkes, 2014)
  • Penggunae-catalogue obat belum optimal (baru 89% Dinkes dan33% RS Pemerintah (Sumber: LKPP dan Kemkes, 2015)
  • Persaingan ketat pada industry farmasi sehingga mengakibatkan tingginya biaya promosi (marketing fee). Biaya promosi tersebut mencapai 40% dari biaya produksi (sumber: Tempo, 2015)

Melalui kajian ini diharapkan bisa mengidentifikasi titik-titik rawan korupsi dan permasalahan pada sistem tata kelola obat dalam JKN serta memberikan saran perbaikan untuk memperbaiki sistem tata kelola obat dalam JKN dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Adapun dalam kajian ini ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut:

  • Ketidaksesuaian FORNAS dan E-catalogue
  • Aturan Perubahan FORNAS Berlaku Surut Melanggar Asas Kepastian Hukum
  • Tidak Akuratnya RKO Sebagai Dasar Pengadaan E-catalogue
  • Mekanisme Pengadaan Obat Melalui E-catalogue Belum Optimal
  • Ketidaksesuaian Daftar Obat pada Panduan Praktik klinis (PPK) FKTP dengan FORNAS FKTP
  • Belum Ada Aturan Minimal Kesesuaian FORNAS pada Formularium RS/Daerah
  • Belum Optimalnya Monitoring dan Evaluasi Terkait Pengadaan Obat
  • Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga

Atas potensi masalah-masalah tersebut di atas, Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan saran perbaikan yang komprehensif dan terpadu yang melibatkan seluruh stakeholder terkait.

Unduh KAJIAN PERIZINAN DAN PENGAWASAN OBAT JKN

 

Top