Ternate, 10 Juli 2018. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk Komite Advokasi Daerah (KAD) di Provinsi Maluku Utara. Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk mengakselerasi pencegahan korupsi khususnya di sektor bisnis.

Salah satu caranya adalah berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan pengusaha untuk mencari solusi bersama atas masalah yang dihadapi di dunia bisnis.

Komite ini akan berfungsi sebagai forum komunikasi dan advokasi antara regulator dan pelaku usaha. Dalam forum ini, kedua belah pihak dapat menyampaikan dan menyelesaikan bersama kendala yang dihadapi dalam menciptakan lingkungan bisnis yang berintegritas.

KPK berupaya mengajak pemerintah daerah dan pengusaha swasta duduk bersama mencari solusi untuk permasalahan utama di Maluku Utara melalui Focus Group Discussion (FGD). Dari hasil FGD yang dilakukan KPK bersama Gapensi, Apindo, Gapeksindo, Kadin Maluku Utara, dan Akademisi dari Unevrsitas Khairun, ditemukan empat masalah utama. Pertama, mengenai keterlabambatan/kegagalan pembayaran pada pekerjaan konstruksi yang sudah di serah-terimakan. Rekomendasi akan hal ini menurut peserta FGD ialah perlu adanya kontrak yang seimbang antara penyedia dan pengguna.

Kedua adalah terkait dengan buruknya implementasi regulasi dan standar pelayanan perizinan Minerba, yang direkomendasikan agar adanya peningkatan kapasitas dalam pelayanan perizinan oleh aparatur sipil negara. Ketiga mengenai biaya ekonomi tinggi dalam biaya jasa bongkar muat di pelabuhan. Rekomendasi terkait permasalahan ketiga ini ialah perlunya transparansi tarif jasa bongkar muat.

“Kami harap ini bisa jadi aksi pencegahan yang efektif dan memberi solusi langsung ke masalah yang ada,“ Kata Sujanarko, Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK dalam kegiatan pembentukan Komite Advokasi Daerah Maluku Utara di Ternate, 10 Juli 2018.

Pertemuan ini dihadiri para pemangku kepentingan komite advokasi, yakni pemerintah provinsi, Kadin Maluku Utara, akademisi, dan para pelaku usaha di Maluku Utara.

Pembentukan Komite Advokasi Daerah Antikorupsi yang digagas KPK ini tidak hanya dibentuk di tingkat daerah tetapi juga tingkat nasional. Di tingkat nasional, komite ini bernama Komite Advokasi Nasional Antikorupsi. Sebagai permulaan pada tahun 2017 ini ada lima sektor yang digarap di tingkat nasional yaitu minyak dan gas, pangan, infrastruktur, kesehatan, dan kehutanan.

Di tingkat nasional, komite advokasi ini dibentuk pada sektor-sektor strategis yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat luas dengan melibatkan asosiasi usaha dan kementerian/lembaga terkait. Sementara di tingkat daerah, komite ini dibentuk berdasarkan geografis dengan melibatkan Kadin dan regulator daerah. Selain Maluku Utara, pada tahun 2018 ini KPK menargetkan 26 provinsi lainnya untuk membentuk komite advokasi.

Gagasan pembentukan kedua komite ini berasal dari pengalaman KPK bahwa 80 persen penindakan yang ditangani KPK melibatkan para pelaku usaha dan sektor publik/instansi pemerintah. Umumnya modus yang dilakukan berupa pemberian hadiah atau gratifikasi dan tindak pidana suap dalam rangka mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara, seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan.

Berdasarkan data KPK, hingga Desember 2017, pihak swasta tercatat sebagai pelaku tindak pidana korupsi terbanyak yaitu sejumlah 184 orang dibandingkan pejabat eselon I/II/III sejumlah 175 orang, anggota DPR dan DPRD sejumlah 144 orang, atau kepala daerah sejumlah 89 orang. Kasus pertama dengan tersangka korporasi yang ditangani oleh KPK ialah PT DGI dalam hal proyek pembangunan.

 

Untuk informasi lebih lanjut, silakan menghubungi:

Febri Diansyah

Juru Bicara

Komisi Pemberantasan Korupsi

Jl. Kuningan Persada Kav.4

Jakarta Selatan

(021) 2557-8300 | 0813 1485 9183

www.kpk.go.id | Twitter: @KPK_RI

Top