Jakarta, 6 November 2020. Komisi Pemberantasan Korupsi bersama Yayasan Auriga Nusantara membedah permasalahan politik dan tata ruang pengelolaan Sumber Daya Alam di Provinsi Sulawesi Tengah dalam diskusi publik yang digelar secara virtual.

Dalam diskusi ini, KPK dan Auriga ingin menjaring rekomendasi perbaikan supaya pengelolaan SDA di provinsi ini mengedepankan kepentingan masyarakat lokal.

Sejak tahun 2012, KPK telah melakukan berbagai upaya dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Salah satunya adalah dengan menggerakan 27 kementerian/lembaga termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Lembaga Swadaya Masyarakat dalam Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam.

“Beberapa kajian tentang sumber daya alam juga telah diselesaikan KPK sejak 2010, sesuai dengan tugas, kami telah mengirimkan rekomendasinya ke lembaga terkait, mudah-mudahan dalam diskusi ini akan ada tambahan rekomendasi untuk terus memperbaiki program yang dirancang bersama ini,” kata Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK Sujanarko saat membuka diskusi ini, Kamis, 5 November 2020.

Dosen Ilmu Politik Universitas Tadulako La Husen Zuada mengatakan pihaknya menemukan pelanggaran yang tidak sesuai dengan aturan perundangan yang menimbulkan praktik ekonomi tersembunyi dalam pengelolaan SDA di Sulawesi Tengah.

“Akar persoalannya ada tiga, yakni lemahnya regulasii, persoalan integritas penyelenggara negara, dan kebutuhan ekonomi, atau lapangan pekerjaan,” kata dia.

Selain itu, ia mengatakan telah terjadi pergeseran sumber Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sulawesi Tengah dari yang semula pertanian menjadi pertambangan. Adanya revisi yang belum selesai dari tahun 2018 terhadap Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 tahun 2013 mengenai tata ruang wilayah provinsi Sulawesi Tengah, menurut La Husen berpengaruh terhadap implementasi pemanfaat SDA.

Koordinator Eksekutif Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA) periode 2017 – 2020 Dahniar Andirani mengatakan tata ruang juga terkait dengan potensi kejahatan SDA. Dari Outlook HuMA tahun 2020, kata dia, hampir tiap titik di Indonesia ini tidak lepas daripada konflik SDA itu sendiri walaupun tidak seluas wilayah Indonesia. Di Sulawesi Tengah berdasarkan catatan HuMA ada 16 konflik dengan luasan 67.586,63 Hektar.

“Sebagian besar kasusnya terjadi di kawasan hutan. Resettlement (pemukinan kembali) dianggap sebagai bagian untuk menyelesaikan persoalan bagi masyarakat yang tinggal atau menggantungkan hidupnya dengan kawasan hutan,” ujarnya.

Kandidat Doktor York University Arianto Sangaji, mengatakan tata kelola SDA tak bisa lepas dari akumulasi global industry berbasis SDA. Ia mengatakan terdapat tiga kasus di Sulawesi Tengah yang terkait dengan tiga investasi raksasa di sini yang berkaitan dengan SDA.

“Secara ekonomi, harus diakui karena ini adalah perusahaan asing yang melakukan investasi disitu, maka dari segi keuntungan tentu saja banyak dilarikan ke luar negeri,” kata dia.

Arianto mengatakan ada tiga masalah dalam pengelolaan SDA di Sulawesi Tengah. Pertama, pemanfaatan SDA di Sulawesi Tengah berorientasi pada akumulasi global. Kedua, petani dan buruh menerima beban sosial dan lingkungan pemanfaatan SDA. Ketiga terkait dengan lingkungan hidup. Industri processing Nikel di Morowali berbasis pada energi batubara jadi sangat kotor.

“Dari kapasitasnya ada 1.130 MW PLTU disitu dan menimbulkan pencemaran udara luar biasa kepada masyarakat sekitar,” kata dia.

Menurut dia, berdasarkan data yang diolah dari Badan Pusat Statisik (BPS) Provinsi Sulawesi Tengah dan BPS Pusat, nilai ekspor besi dan baja khususnya dari Sulawesi Tengah terjadi kenaikan signifikan dari semula 185 juta USD di tahun 2015 menjadi 4,4 miliar USD hingga September 2020. Projek Dongi Silora LNG (DSLNG) kata dia, juga termasuk proyek raksasa yang melibatkan perusahaan trans-nasional.

Pengajar Fakultas Kehutanan Universitas Tadulako Sudirman Dg. Massiri mengatakan semua permasalahan yang timbul dalam pengelolaan sumber daya hutan memang menimbulkan interdependensi sehingga butuh kebijakan dan pengaturan.

Sudirman memberikan rekomendasi bahwa sumber daya hutan perlu dianggap sebagai aset sehingga dibutuhkan penilaian SDA yang benar dan prinsip kehati-hatian agar sumber daya hutan sebagai aset awal tidak hilang. Ia mengatakan dalam merumuskan kebijakan kehutanan harus memahami karakteristik tiga komponen.

“Dalam pemerintahan, kebijakan harus merujuk pada hukum tata negara, di masyarakat perumusan kebijakan kehutanan tidak bisa mengabaikan aturan sosial di masyarakat, hal lain yang penting adalah tidak mengabaikan karakteristik sumber daya hutan itu sendiri, yakni hukum alam seperti bentang alam, karakteristik biodiversitasnya,” kata Sudirman.

Menurut dia, perlu penetapan tujuan bersama, mekanisme inter-relasi dan mekanisme kontrol dalam pengelolaan SDA dengan prinsip tata kelola mencakup partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan, transparansi, peduli pada stakeholders, kesetaraan, efetivitas dan efisien serta akuntabilitas.

Biro Hubungan Masyarakat

Komisi Pemberantasan Korupsi
Jl. Kuningan Persada Kav.4

Jakarta Selatan
Call Center 198
www.kpk.go.id

Swiny Adestika

Konsultan Komunikasi

Yayasan Auriga Nusantara

Untuk Projek Gakkum-SDA

Email. Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.

Mobile. +6282114673900

Tentang Program Peningkatan Kapasitas dan Koordinasi Penegakan Hukum di Sektor Sumber Daya Alam

Program yang disingkat dengan Gakkum-SDA ini merupakan program kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diimplementasikan oleh Yayasan Auriga Nusantara dengan waktu kerja 3 tahun pada 2019 - 2022. Tujuan program adalah peningkatan efektivitas upaya penegakan hukum terkait kejahatan sumber daya alam, yang meliputi 12 wilayah provinsi dengan tutupan hutan yang relatif baik, yakni pada Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Papua dan Papua Barat. Program dirancang untuk kebutuhan peningkatan kapasitas dan koordinasi para penegak hukum dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dari 11 Kementerian dan Lembaga, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam memantau proses penegakan hukum kasus sumber daya alam.

Top