Oleh Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka itu dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman,” sedang mereka tidak diuji lagi… Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) kami… [QS. Al-Ankabuut: ayat 1 dan 4]
Waktu cepat berlalu. Empat tahun tidak terasa menghampiri. Kelima Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2015-2019 segera menyelesaikan amanah mereka. Pekerjaan masih meninggalkan sisa, meski peluh kadang telah berganti “darah”.
Tapi waktu tak perlu menunggu. “Badai masalah” tak menunggu pendulum waktu bergerak. Badai jahat dan ganas datang tiap pergantian pimpinan. Tiap tahun kian berbahaya. Apapun bisa diterpa badai itu, namun perjuangan harus terus berlanjut. Hanya nelayan tangguh tak surut saat layar telah terkembang meskipun badai maut menunggu menantang. Kelima Nakhoda Pimpinan KPK harus terus berlayar dan anak buah kapal pun tak boleh surut. Sebagai anak buah kapal, Wadah Pegawai (WP) KPK perlu memastikan komando perlawanan terhadap badai jahat harus terus dilakukan.
Tangguh
Secara konstitusional, KPK itu bukan lembaga independen yang kuat. Banyak syarat lembaga independen yang tidak dipenuhinya. Misalnya, KPK tidak diatur dalam konstitusi sehingga dapat “dirusak” melalui perubahan undang-undang dengan mudah. Bahkan tidak dipersenjatai agar dapat menjalankan tugasnya melawan para mafia korupsi (lihat, Bruce Ackerman, the New Separation of Powers, Harvard Law Review, 2000, h. 691-692). Belum lagi bicara proses pemilihan Pimpinan KPK yang lebih banyak muatan politisnya dibandingkan keinginan mencari pimpinan yang dapat memperkuat lembaga dan memberantas korupsi.
Bahkan saking tak tangguhnya, KPK itu tidak sesuai standar lembaga antikorupsi yang ditetapkan United Nation Convention Againts Corruption (UNCAC) dan the Council of Europe Criminal Law Convention on Corruption yang menentukan lembaga seperti KPK harus independen, memiliki kekhususan, keahlian, sumber daya yang cukup dan jumlah staf yang memadai (Francisco Cardona, Guides to Good Governance No.3: Anti-corruption Policies and Agencies, Centre for Integrity in the Defence Sector, h. 7). KPK masih dibuat bergantung pada sumber daya lembaga negara lain. Padahal lembaga-lembaga tersebut dianggap gagal melakukan pemberantasan korupsi.
Selama Empat tahun Pimpinan periode 2015-2019 tidak sanggup mengubah kelemahan itu menjadi kekuataan. KPK hampir tiap tahun diancam isu perubahan undang-undang. Bahkan periode kepemimpinan kali ini, perubahan UU KPK terjadi dengan pelemahan-pelemahan luar biasa di sana-sini. Tentu itu bukan dosa pimpinan KPK. Tapi bukan berarti tak berdosa, tanggung jawab jadi hilang. Pilihan Tiga orang pimpinan untuk terus melawan dengan mengajukan permohonan pengujian undang-undang secara formil di Mahkamah Konstitusi menunjukan kerja baik harus terus dilakukan. Jika tidak diikuti dua Pimpinan yang lain, anggap saja tidak semua kerja baik diikuti orang. Pokoknya fokus, kerja, kerja, kerja terus memberantas kerja-kerja koruptif.
Belum berakhir
Meski KPK telah berhasil dikerdilkan dengan perubahan UU KPK. Bahkan kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK belum selesai pula dituntaskan oleh negara meski sudah banyak janji hingga berbusa-busa. Mental menyerah tak boleh bersemi di internal KPK, pun bagi para pendukung upaya pemberantasan korupsi.
Kerja pemberantasan korupsi ini memang kerja berat. Dari dulu pegiat antikorupsi mestinya sadar bahwa tidak akan ada karpet merah dibentangkan, pujian para politisi didendangkan, kemudahan-kemudahan diwakafkan dalam upaya pemberantasan korupsi. Semua serba berat. Bukan hanya dipukul, fitnah dan cacian dibuat agar semangat meleleh dan lenyap. Sekali lagi perlawanan tidak boleh berakhir. Bendera KPK jangan sampai roboh.
KPK bukan tempat anak-anak manja. Bagi para pegawai KPK, angkat dagumu. Perbaiki lagi niatmu. Ikat lagi semangat perjuangan di hatimu. Bahwa Negeri ini pasti lebih baik jika korupsi dipukul mundur harus terus kita nyanyikan agar semangat terus menyala.
KPK bukanlah milik Pak AR (Agus Rahardjo), Pak LMS (Laode M. Syarif), Pak SS (Saut Situmorang), Pak AM (Alexander Marwata), dan Bu BP (Basaria Panjaitan). Bukan milik NU atau Muhammadiyah saja. Bukan milik Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Bukan pula milik masyarakat adat dan warga ibukota saja. KPK milik kita semua.
Mundur dan putus asa memperjuangkan KPK adalah mental lemah nyali. Serangan ganas bagi KPK di masa depan akan terus ada. Kesakitan terhadap pelemahan KPK itu milik bersama. Jutaan orang tumpah ruah di berbagai tempat di Tanah Air ketika revisi KPK dilakukan Presiden Joko Widodo. Tapi yang harus diingat adalah revisi UU KPK boleh saja melemahkan “badan” KPK, tapi hati publik pendukungnya yang bersatu harus terus membara. Itu saja sudah cukup menjadi modal berharga.
Lalu, jika publik saja tak berputus asa dengan KPK. Apa alasanmu wahai Wadah Pegawai KPK hilang semangat? Jika cuma AR+LMS+SS–(AM+BP) atau KPK–(FB+NG+LPS+NP+AM) menjadi “matematika” yang membuat kalian hilang semangat, ingatlah telah ada lima nyawa yang melayang karena mereka percaya dengan anda dan KPK. Ingatlah kami, rakyat republik ini yang berharap kepada anda semua untuk tidak menyerah. Ingatlah, Kita telah melawan… sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya (Nyai Ontosoroh: Novel Bumi Manusia).
Kembangkan lagi layarmu, sahabat!