Titi Anggraini, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Demokrasi secara sederhana dimaknai sebagai kedaulatan di tangan rakyat. Dalam konteks Indonesia, kedaulatan oleh rakyat dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Demokrasi dan supremasi hukum menjadi satu paket yang tak terpisahkan satu sama lain.

Sedangkan International IDEA menyebut dua komponen utama demokrasi, yaitu popular control (kendali rakyat) dan political equality (kesetaraan politik). Kendali oleh rakyat hanya akan bisa dijalankan apabila ada jaminan kesetaraan politik warga negara, khususnya untuk dipilih dan memilih.

Dalam praktik berdemokrasi, partai politik (parpol) dan pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen konstitusional yang menjadi artikulasi daulat rakyat untuk menentukan siapa yang akan mengisi posisi-posisi penting di cabang kekuasaan baik eksekutif maupun legislatif. Bahkan, nyaris tidak ada posisi publik di negeri ini yang tidak ditentukan oleh partai politik. Sebut saja pengisian keanggotaan Hakim Konstitusi, Hakim Agung, komisioner Komisi Pemilihan Umum, Komisi Yudisial, serta banyak lagi Komisi-Komisi lainnya. Dan tentu saja, termasuk pula pengisian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan di lembaga antirasuah ini, untuk urusan posisi ketuanya pun langsung diputuskan para wakil parpol di parlemen. Sehingga tidak berlebihan bila bicara kualitas demokrasi dan antikorupsi, tidak akan pernah lepas dari cara kita mengelola kelembagaan parpol yang ada.

Apalagi ada data yang kongruen antara indeks demokrasi suatu negara dengan indeks persepsi korupsinya. Sebut saja lima negara dengan indeks demokrasi tertinggi tahun 2018 menurut Majalah The Economist (Norwegia, Islandia, Swedia, Selandia Baru, dan Denmark), ternyata juga masuk kategori negara dengan peringkat indeks persepsi korupsi tertinggi menurut Transparency International. Dengan demikian, segala instrumen demokrasi yang ada, khususnya parpol, mutlak menjadi fokus perhatian agar tata kelolanya sesuai dengan prinsip dan nilai demokrasi yang harus pula antikorupsi. Sebab, kendali rakyat dan kesetaraan politik tidak akan pernah terealisasi tanpa tata kelola bernegara yang antikorupsi.

Hal itu tampaknya disadari penuh oleh KPK dan pimpinan periode 2015-2019, bahwa investasi kita pada institusionalisasi partai adalah stimulus untuk penguatan gerakan antikorupsi secara holistik. Menjadi relevan ketika KPK sangat aktif berkontribusi dalam mendorong demokratisasi partai. Sebut saja program Kelas Politik Cerdas Berintegritas (PCB), penyusunan Sistem Integritas Partai Politik (SIPP), studi pembiayaan parpol oleh negara, dan berbagai kajian KPK terkait pembiayaan pilkada, pemilu, maupun sistem pemilihan Indonesia.

Melalui kader-kader PCB di seluruh Indonesia diharapkan muncul figur-figur yang akan menjadi motor gerakan antikorupsi di ranah politik. Mereka yang akan berkontribusi bagi terwujudnya kebijakan yang bersih, inklusif, serta berorientasi pada pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik. Selain itu, kolaborasi Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK dengan Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (P2P-LIPI) telah pula melahirkan perangkat SIPP yang  bisa jadi instrumen untuk perbaikan sistem integritas parpol.

Kenapa integritas parpol jadi fokus? Sebab survei yang dilakukan LIPI pada 2018 mendapati parpol sebagai lembaga yang belum dipercaya publik. Tingkat kepercayaan kepada parpol hanya sebesar 13,1%, sedangkan tingkat kepercayaan pada DPR dan DPRD sebagai tempat berkumpulnya wakil-wakil parpol di parlemen pun kurang dari 50%. Meski belakangan survei beberapa lembaga independen menunjukkan adanya perbaikan kepercayaan, tapi jumlahnya tak cukup signifikan. Belum lagi, adanya 23 orang anggota DPR periode 2014-2019 yang terjerat perkara korupsi membuat stigma publik terhadap parpol tetap tinggi.

Sebagai Komisi yang berdasarkan data Lembaga Survei Indonesia (LSI), selama empat tahun berturut-turut selalu memperoleh kepercayaan tertinggi dari publik, berbagai kajian KPK berkontribusi signifikan dalam merealisasikan kebijakan untuk membenahi kondisi demokrasi internal partai. Sebut saja soal pembiayaan parpol oleh negara atau lazim disebut dengan bantuan keuangan negara untuk parpol (banpol). Sebelum diskursus ini didukung KPK, cukup sulit bagi akademisi dan kelompok masyarakat sipil meyakinkan publik untuk mendukung gagasan kenaikan banpol bagi partai. Bahkan pembuat kebijakan terkesan ragu-ragu karena mengkhawatirkan persepsi publik atas kebijakan yang bisa dianggap hanya untuk kepentingan parpol ini.

Suara KPK yang menyeruak mendukung gagasan kenaikan banpol, mampu memberikan keyakinan pada para pihak bahwa ide ini perlu didukung. Sampai akhirnya, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 yang menaikkan banpol dari semula hanya Rp108 per suara sah menjadi Rp1.000 untuk parpol yang memperoleh kursi DPR RI. Tentu angka ini masih jauh dari cukup untuk membiayai kebutuhan pendidikan politik dan kaderisasi parpol, tapi setidaknya jauh lebih baik dibandingkan skema sebelumnya.

Hanya saja sangat disayangkan, skema kenaikan banpol ini tidak sepenuhnya mengakomodasi proposal yang diajukan KPK dan gerakan masayarakat sipil. Pemerintah baru sebatas menaikkan jumlah banpol, namun belum mengadopsi skema akuntabilitas yang ditawarkan. Ini memang jadi pisau bermata dua setiap kali berurusan dengan advokasi kebijakan. Kerap kali pembuat kebijakan hanya mengambil parsial usulan yang ada, yang menguntungkan diterima sedangkan aspek tanggung jawabnya diabaikan.

Ironisnya lagi, kerja keras KPK bagi penguatan demokrasi Indonesia justeru berujung nestapa. Di tangan parpol parlemen pula KPK mendapati kenyataan pahit. Sebagian kewenangannya diamputasi tanpa KPK diajak bicara dan ikut serta. Apakah ini susu dibalas tuba? Tentu rakyat Indonesia akan dengan mudah menjawabnya. Tetapi sejarah sudah tercatat, KPK jadi bagian integral dari bangunan demokrasi antikorupsi Indonesia. Meski jalan terjal masih jauh harus kita lalui.

Top