Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan antikorupsi diseluruh jenjang pendidikan.

KPK bahkan memiliki direktorat dengan nama Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) dibawah kedeputian pencegahan yang bertugas menyelenggarakan pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat.

Kali ini, lewat Rapat Koordinasi Nasional Pendidikan Antikorupsi yang diadakan di Hotel Kartika Chandra, Selasa (11/12), KPK mempertemukan seluruh pemangku kebijakan dan kepentingan di bidang pendidikan untuk bisa berkomitmen sekaligus berdiskusi mengenai hal-hal strategis yang bisa dikerjakan bersama. Pertemuan ini bertujuan mengimplementasikan pendidikan antikorupsi di setiap jenjang pendidikan.

Dalam pertemuan itu, KPK memanggil beberapa ahli dari dunia pendidikan untuk memberikan pandangan mengenai pendidikan karakter untuk membangun generasi antikorupsi. Sebagai narasumber, hadir Pegiat Pendidikan Najeela Shihab, Tokoh Pendidikan Indonesia Arief Rachman, Pimpinan KPK Jilid III Busyro Muqoddas.

Lewat diskusi ini, Najeela memberikan pandangan mengenai berbagai macam strategi pemerintah yang selalu berinovasi tiada henti baik di dunia pendidikan. Namun, selama ini pemerintah hanya berfokus pada akses pendidikan. Indikator yang digunakan adalah angka partisipasi anak bersekolah yang semakin tinggi.

“Padahal bukan itu intinya. Karena anak yang sekolah bukan berarti dia lulus dengan kompetensi, karakter, dengan nilai dan kemampuan yang kita idamkan,” ujar Najeela.

Putri sulung Quraish Shihab ini juga menyadari bahwa keberhasilan akses pendidikan dan hasil tes kognitif saja belum cukup untuk mengukur karakter anak. Menurut dia, pendidikan karakter seharusnya menjadi salah satu indikator utama dalam pendidikan nasional.

Najeela mengatakan ada beberapa hal yang menghambat proses penetapan pendidikan karakter sebagai prioritas utama. Pertama, saat ini penekanan dunia pendidikan hanya focus pada infrastruktur, sarana dan prasarana, jenis mata pelajaran, jam mata pelajaran, administrasi yang berlebihan hingga kompetisi berlebihan. Selain itu, selama ini dunia pendidikan selalu menguatkan motivasi eksternal. “Artinya anak sekolah untuk mendapatkan nilai, ikut kegiatan untuk dapat piala. Kemudian iming-iming itulah yang kita praktikan kepada anak-anak kita dari kecil sampai besar,” kata Najeela.

Di Indonesia, tingkat keberhasilan pendidikan selalu dilihat dari tingginya nilai Ujian Nasional. “Padahal itu tidak menunjukan keberhasilan sesungguhnya di lapangan. Belum tentu kan anak yang UN nya tinggi kemudian punya karakter antikorupsi?” kata Najeela.

Ia menjelaskan bahwa itu adalah dua hal yang sangat berbeda. Untuk itu sangat penting untuk menanamkan pendidikan karakter untuk menciptakan generasi antikorupsi. Setiap orang tua atau guru harus mulai berubah dengan praktik yang sederhana membentuk anak-anak menjadi generasi yang unggul dan jujur. Hal tersebut akan berpengaruh secara langsung kepada perilaku anak dari pada program strategis lain secara makro seperti kebijakan-kebijakan pemerintah.

Arief Rachman sebagai praktisi pendidikan menekankan bahwa pendidikan itu bukanlah produk tapi proses. Tujuan dari pendidikan adalah mengembangkan potensi. Potensi yang dikembangkan adalah potensi spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang dibutuhkan masyarakat, bangsa, dan negara.

“Tidak akan ada korupsi jika hal itu sudah diperhatikan dan dipraktikan dengan baik” ujar Arief. Menurut dia, pendidikan karakter harus dilakukan sedini mungkin agar anak-anak mengerti dan peduli nilai-nilai yang baik dan benar.
“Korupsi dapat diselesaikan jika watak ini berkembang di negara kita tanpa membuat mata pelajaran antikorupsi,” ujar Arief.

Ia menyatakan pendidikan antikorupsi bisa diselipkan dalam proses pendidikan, tanpa harus membuat mata pelajaran antikorupsi. Karena, moral antikorupsi sifatnya tidak terukur dan pendidikan karakter antikorupsi tidak bisa instan.
Pimpinan KPK Jilid III Busyro Muqoddas menyayangkan rusaknya sistem regulasi yang justru membentuk kultur masyarakat hingga muncul perilaku-perilaku koruptif. Untuk itu, integritas pendidikan menjadi tugas penting bagi guru dan dosen.

Ia berharap sistem pendidikan mengimplementasikan pendidikan karakter untuk membangun generasi penerus bangsa yang jujur. Ia pun optimistis dengan masa depan Indonesia yang bebas korupsi.

“Karena jumlah orang yang korupsi lebih sedikit dari pada orang yang jujur, kita bisa melawannya,” ujar Busyro. Kesimpulannya, menerjemahkan pendidikan antikorupsi tidak semata-mata sebagai sebuah mata pelajaran, namun sebuah kegiatan atau sebuah cara yang bisa membentuk perkembangan karakter positif di anak-anak.

 

(Humas)