Korupsi sejak lama diakui sebagai bentuk kejahatan yang harus ditanggulangi secara tak biasa. UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahkan secara gamblang menyebutkan, korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Karenanya, sudah menjadi keharusan bila korupsi maupun tindak pidana lainnya seperti kejahatan HAM serta narkotika dan psikotropika diatur penanganannya secara khusus. Kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) selayaknya memiliki undang-undang tersendiri yang terpisah dari delik pidana umum.
Pernyataan dan pendapat ini mengemuka dalam Dialog Kanal yang digelar di KPK hari Selasa (6/6) lalu. Mengusung tema "Implikasi Kodifikasi terhadap Kejahatan Luar Biasa dan Teroganisir dalam RKUHP", forum ini dihadiri Pimpinan KPK Laode M. Syarif, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Heru Winarko, Komisioner Pengujian dan Penelitian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam, serta akademisi Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan.
Upaya memasukkan pengaturan Tindak Pidana Khusus seperti korupsi, pelanggaran HAM berat dan narkoba ke dalam RKUHP, yang sebelumnya diatur di luar KUHP, berpotensi mengakibatkan hilangnya ketentuan pidana yang bersifat khusus (Lex Specialis), yang sejatinya telah diatur dalam undang-undang masing-masing Tindak Pidana Khusus Tersebut.
Laode M. Syarif mengatakan, penolakan KPK atas masuknya pasal kejahatan korupsi dalam RKUHP sudah disampaikan beberapa kali lewat surat kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden. Namun, hinga kini hal tersebut tak kunjung mendapatkan respon. “Kita menolak untuk dimasukkan dalam RKUHP, karena akan mempengaruhi pola kinerja lembaga ini, yang sudah dibentuk oleh negara, yaitu KPK, BNN, Komnas HAM. Bagaimana kemudian nasib lembaga-lembaga ini? Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum, harus mengacu pada yang mana? Kita minta kepada pemerintah dan DPR untuk cermati betul hal ini,” tegas Syarif.
Komisioner Pengujian dan Penelitian Komnas HAM Choirul Anam menyatakan penolakan yang sama, serta sudah menyampaikan surat kepada Presiden. Pasalnya, menurut Anam pengaturan soal pelanggaran HAM berat harusnya dipisahkan dari Buku KUHP, seperti misalnya genosida, dan kejahatan perang, juga agresi. “Salah satunya adalah masa daluarsa sebuah kasus. Masa daluarsa dalam pelanggaran HAM dan kejahatan pidana umum itu berbeda, tidak bisa dimasukkan ke dalam satu buku. Kewenangan Komnas, bisa langsung habis ini,” tutur Anam.
Tidak berbeda dengan yang disampaikan Kepala BNN Heru Winarko terkait penolakan terkait UU Pidana Narkotika dan Psikotropika. Menurut Heru, BNN akan kesusahan dalam menindak dan memproses kasus-kasus kartel, terutama yang berkaitan dengan jaringan internasional. “Sangat sulit BNN bergerak, jika menggunakan dan pengacu pada UU yang bersifat umum. Kita akan kesusahan dan sulit untuk melakukan penindakan dan kolaborasi dengan aparat luar negeri. Selain itu perkembangan kasus narkotika, membuat Undang-Undang untuk mau tidak mau harus bisa direvisi setiap saat. Dalam hal ini KUHP tidak bisa demikian,” jelas Heru menanggapi.
Lebih jauh, Akademisi Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan mempertanyakan apa urgensi memasukkan delik-delik Korupsi, Narkotika, HAM, Teroris, ataupun Pencucian Uang ke dalam KUHP. Bagi Asep, memasukkan pasal-pasal delik korupsi, narkotika, HAM, ke dalam KUHP adalah upaya pelemahan yang nyata. “Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor mau dimasukkan, Milik BNN dimasukkan jadi cuma 17 Pasal, begitupun Pelanggaran HAM, mau ngapain? Delik yang diatur secara khusus ini ada karena kejahatannya juga bersifat khusus. Artinya kejahatan yang luar biasa, kenapa malah mau dijadikan pidana umum yang biasa,” komentar Asep tajam.
Dalam konteks tindak pidana korupsi, RKUHP mengatur hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu tidak ada pidana tambahan berupa uang pengganti; percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi dikurangi 1/3 dari maksimum Pidana; ancaman pidana denda menurun drastis, definisi tentang korporasi dalam RKUHP lebih sempit dari UU Tindak Pidana Korupsi, dan; ketidakjelasan konsep Ketentuan Peralihan.
Secara terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menemui Pimpinan KPK di Gedung KPK pada Selasa (5/6) untuk memberi dukungan terhadap KPK terkait penolakan terhadap RKUHP. Lalola Easter dari Indonesia Corruption Watch (ICW) berpendapat bahwa RKUHP merupakan usaha lain untuk melemahkan KPK, setelah usaha sebelumnya mentok. “Yang perlu dilihat kita semua bahwa RKUHP ini menjadikan delik korupsi jadi seperti pidana umum. Jadi kenapa kita dorong agar tidak dicampur antara pidana khusus masuk ke dalam RKUHP yang lagi dirancang. Kita mau dorong masyarakat sipil buat sama-sama menyatakan sikap menolak RKUHP memasukan delik korupsi,” tutur Lola.
Di kesempatan yang sama, hadir Mantan Pimpinan KPK Mochammad Jasin untuk memberikan dukungan yang sama. Buat Jasin, silahkan saja jika DPR memasukkan semua pidana ke dalam RKUHP. Akan tetapi, khusus pidana khusus serupa Tindak Pidana Korupsi harus tetap dipisahkan di luar KUHP. “Silahkan jika ingin revisi, tapi jangan sampai Tindak Pidana Khusus seperti Korupsi ikut masuk. Ini melemahkan. Kita juga harus dapat meyakinkan Presiden, bahwa agenda pemberantasan korupsi sedang di ujung tanduk. Selain itu juga, kami mantan pimpinan sudah ada tiga orang yang menolak RKUHP memasukan delik korupsi ke dalam RUU,” tukas Jasin.
Pada kesempatan itu, Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari ICW, Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Indonesia Legal Roundtable (ILR), serta pihak Change.org menyampaikan petisi #KPKDalamBahaya yang sedang disebar secara daring lewat situs Change.org. Saat melakukan simbolisasi penyerahan petisi kepada Ketua KPK Agus Rahardjo di Ruang Konferensi Pers KPK, sudah terkumpul sekitar 48.000 tanda tangan untuk menolak masuknya aturan korupsi dalam RKUHP.
(Humas)