Rencana kodifikasi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai KPK tak seharusnya dilakukan. Urgensi justru hadir ketika UU Tipikor yang ada saat ini belum diperbaiki kelemahannya, misalnya dalam penindakan sektor swasta.

Hal ini disampaikan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus  Rahardjo saat hadir dalam Diskusi Publik Implikasi Kodifikasi Terhadap Tindak Pidana Luar Biasa dan Teroganisir dalam RKUHP di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis (3/5)Narasumber lain yang hadir dalam acara ini diantaranya Komisioner Komnas HAM  Kasubdit Perundang-undangan Badan Narkotika Nasiona Sandrayati Moniaga, Dekan Fakultas Hukum Univ Muhammadiyah Yogyakarta, Trisno Rahardjo dan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi FH UGM, Hifdzil Alim.

“Harapan saya UU No 31 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (tipikor) diperbaiki agar lebih fokus kepada memperbaiki UU untuk menindak sektor swasta khususnya suap antar perusahaan swasta yang di Indonesia,” tegas Agus.

Senada dengan Agus, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan keberatannya apabila Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) saat hadir dalam diskusi yang sama di Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Kamis (3/5). Menurutnya RKUHP mengatur hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan UU Tipikor antara lain tidak adanya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti, ancaman pidana denda menurun drastis, definisi korporasi dalam RKUHP lebih sempit dari UU Tipikor dan ketidakjelasan konsep ketentuan peralihan, dan percobaan pembantuan pemufakatan jahat tindak pidana korupsi yg ancamannya dikurangi 1/3 dari maksimum pidana.

Dalam paparannya, Syarif menjelaskan bahwa secara formal KPK sudah lima kali menyampaikan keberatan terkait memasukkan Tipikor dalam RKHUP. “Alasan utama KPK yaitu modus operandi kejahatan tipikor itu selalu berkembang secara pesat.  Bisa dibayangkan apabila hal tersebut dikodifikasi (disatukan) dalam KUHP,” tegasnya. Menurutnya, konsep RKUHP memungkinkan tindak pidana khusus dalam KUHP dan UU yang mengatur secara khusus. “Ternyata  konsep kodifikasi tersebut belum jelas meskipun dalam pembahasan DPR selalu berkomitmen dengan RKHUP KPK akan diperkuat dan tidak akan dihapus.  Namun siapa yang bisa menjamin hal tersebut,” ungkapnya. Syarif beranggapan justru yang  perlu diperbaiki adalah UU Tipikornya yang menurutnya pasti tentu lebih mudah dibandingkan  RKUHP.

Selain Syarif, narasumber yang hadir dalam diskusi ini di antaranya adalah mantan Hakim serta Akademisi Universitas Parahyangan Asep Iwan Iriawan, Guru Besar Emeritus Hukum Pidana Universitas Airlangga Prof. Dr. JE Sahetapy, Komisioner Komnas HAM M Choirul Anam serta perwakilan Malang Corruption Watch Fachruddin.

Diskusi Publik  juga diwarnai dengan Deklarasi Sikap Koalisi Masyarakat Sipil Jawa Timur terhadap Problematika RKUHP yang menyampaikan pernyataan di antaranya, menuntut Pemerintah dan DPR untuk mendengarkan, mempertimbangkan, dan menerima masukan yang disampaikan oleh lembaga penegakan hukum, institusi negara, dan masyarakat sipil, menuntut Pemerintah dan DPR untuk mengeluarkan pengaturan tindak pidana khusus (kejahatan korupsi, pencucian uang, narkotika dan psikotropika, kejahatan HAM berat, kejahatan lingkungan hidup) dari RKUHP, menuntut Pemerintah dan DPR untuk menghapuskan pengaturan tindak pidana dalam RKUHP yang bersifat melanggar hak asasi manusia dan berpotensi merugikan masyarakat miskin, rentan, dan terpinggirkan dan menuntut Pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP sampai tuntutan-tuntutan dalam Deklarasi ini terpenuhi.

Prof JE Sahetapy dalam paparannya dengan tegas menyampaikan keberatannya terhadap rencana kodifikasi Tipikor dalam RKUHP. “Saya tidak setuju kodifikasi tindak pidana khusus dalam RKUHP. Terlepas apapun niat mereka, sampai Indonesia kiamat Lembaga Anti Rasuah apapun tidak boleh dikerdilkan. Itulah yang dibutuhkan, komitmen pemimpin negeri,” tegasnya.

(Humas)