Korporasi kerap kali digunakan sebagai “kendaraan atau media” pencucian uang oleh pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan menyamarkan identitas pelaku dan hasil tindak pidana. Hal itu kemudian mendorong Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Sejalan dengan itu, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyelenggarakan Diseminasi Atas Perpres Nomor 13 Tahun 2018, Selasa (27/3) di Jakarta. Dalam acara ini Pimpinan KPK Laode M. Syarif menjadi panelis bersama Kepala PPATK Periode 2002-2006 dan 2007-2010/2011 serta Ketua Tim Penyusun Rancangan Perpres 13 Tahun 2018 Yunus Husein, Kepala Grup Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heni Nugraheni, dan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kemenkumham Cahyo Rahadian Muhzar yang diawali oleh Keynote Speech oleh Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin.

Laode M. Syarif mengatakan, sepanjang tahun 2017 KPK  mengungkap 8 kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia menilai angka tersebut masih sangat kecil. “Saya janji paling tidak  tahun 2018 TPPU harus double digit. Ini memang susah mengikuti aset itu bergerak dari A ke B Ke C ke E, itu luar biasa. Jadi, kita memang harus rajin. Kalau ingin mendapatkan penyelamatan aset salah satunya melalui TPPU,” ungkap Syarif.

Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 mengatur tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat Atas Korporasi atau dapat juga disebut Beneficial Ownership (BO). Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, KPK berharap bisa tercipta transparansi yang lebih baik sebagaimana yang terjadi di sejumlah negara maju.

Menurut Syarif, Perpres ini bisa mengungkap para pemilik korporat yang memiliki kendali sebenarnya atas perusahaan. Dalam tindak pidana pencucian uang, kerapkali pelaku bersembunyi dan tak terlacak dalam data pemilik resmi suatu korporat. “Kadang tidak ada orangnya, tidak ada namanya orang itu tetapi dia sangat kuat. Jadi seperti mengendalikan korporat dengan remote control,” ujarnya.

Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin menyampaikan fakta  meningkatnya  berbagai kejahatan yang dilakukan oleh perseorangan ataupun korporasi dalam batas wilayah suatu negara  melintasi batas wilayah negara lain. “Kejahatan tersebut antara Iain berupa tindak pidana korupsi, penyuapan penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, perbankan, perdagangan gelap narkotika dan psikotropika, perdagangan wanita dan anak, perdagangan senjata gelap, pencucian, terorisme, dan berbagai kejahatan kerah putih Iainnya,” ujarnya sembari membuka kegiatan diseminasi.

Berkaca pada penelitian Financial Action Task Force (FATF) tahun 2014, Badaruddin menyatakan bahwa rendahnya informasi pemilik manfaat yang akurat dan benar kerap kali dimanfaatkan pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan identitas pelaku, menyamarkan tujuan pembukaan rekening korporasi yang akan dijadikan media pencucian uang, dan menyembunyikan tujuan penggunaan harta kekayaan dari korporasi yang diduga dari tindak pidana.

Hal senada juga disampaikan oleh Yunus Husein bahwa Pemerintah belum optimal dalam menerapkan pajak kepada para korporasi sehingga selalu menjadi “corporate vechicle” dalam pencucian uang. Sedangkan Cahyo dalam panelisnya menyampaikan secara rinci terkait BO dalam korporasi yang dimana Pemilik manfaat dari korporasi, menurut Perpres ini, merupakan orang perseorangan yang memenuhi kriteria memiliki saham lebih dari 25 persen pada perseroan terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar, memiliki hak suara lebih dari 25 persen pada perseoran terbatas sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar.

“Selain itu, menerima keuntungan atau laba lebih dari 25 persen dari keuntungan atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun, memiliki kewenangan untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan anggota komisaris, memiliki kewenangan atau kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengendalikan perseroan terbatas tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak manapun, menerima manfaat dari perseroan terbatas, dan atau merupakan pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas,” tambah Cahyo.

Heni Nugraheni juga menegaskan hal tersebut dalam presentasinya sehingga dia harapkan agar para peserta yang secara umum terdiri dari perkumpulan korporasi, koperasi, persekutuan komanditer, persekutuan firma dapat mematuhi hal tersebut. “Saya harapkan kepada para korporasi wajib menyampaikan informasi yang benar mengenai pemilik manfaat kepada instansi berwenang yang diserta dengan surat pernyataan korporasi mengenai kebenaran informasi,” jelas Heni.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae, SH., LLM yang menutup acara diseminasi mengatakan melalui Perpres tersebut aparat penegak hukum bisa mempersempit celah kejahatan pencucian uang demi memperkuat sistem transparansi di Indonesia. “Kalau korupsi dibiarkan akan merusak seluruh sistem di suatu negara. Tentunya komitmen kita di G20 dalam transparansi harus diperkuat,” kata Dian.

(Humas)