Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuat kajian cepat terkait pengelolaan fly ash bottom ash (FABA) yakni sisa pembuangan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) dari batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pengkategorian FABA sebagai limbah B3, dinilai dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelolanya.

“Pada 2020 KPK melakukan telaah terhadap pengelolaan FABA batu bara di PLTU dan dari hasil telaah tersebut mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang memasukkan FABA sebagai limbah B3, memiliki beberapa kelemahan,” ujar Wakil Ketua Lili Pintauli Siregar pada Diskusi Media berjudul Menjawab Dilema FABA pada Selasa, 23 Maret 2021 yang dilakukan secara daring.

Dikatakan Lili keberadaan FABA yang dimasukkan sebagai limbah B3 dapat meningkatkan risiko korupsi pada tata kelola FABA. Di samping itu, terangnya, pengkategorian FABA sebagai limbah B3 berdampak pada tidak maksimalnya pengelolaan FABA sebagai bahan baku dalam industri konvensional.

Kelemahan lainnya, disebutkan Lili, merujuk pada sejumlah studi literatur, pengkategorian FABA sebagai B3 tidak sesuai dengan praktik di berbagai negara internasional, seperti Jepang, Amerika Serikat, Ausie, Cina, serta negara-negara di Eropa, yang mana di negara tersebut dikategorikan sebagai limbah non-B3.

Diskusi media ini menghadirkan pula Wakil Direktur Utama PT. PLN Darmawan Prasodjo yang mengapresiasi KPN dengan diadakannya diskusi media ini, katanya, forum ini dapat menjadi wadah pembelajaran bagi masyarakat melalui media atas keberadaan FABA.

Darmawan lantas membeberkan sejumlah pemanfaatan yang dapat dihasilkan dari pengelolaan FABA jika tergolong dalam limbah non-B3, diantaranya, bekas tambang di Sawah Lunto menjadi dapat direhabilitasi. Sebagai areal bekas tambang, Sawah Lunto menjadi tempat penimbunan FABA, di area seluas 5 hektar terdapat kandungan silica, yang efektif bagi tanaman agrikultur, misalnya tebu. Pemanfaatan serupa terjadi juga di wilayah PLTU Suralaya yang menjadikan taman lebih hijau, kata Darmawan.

Terlebih lagi, Darmawan menjelaskan, pemanfaatan FABA dapat menjadi pendorong ekonomi nasional, yaitu peningkatan UMKM dengan total peningkatan Rp4,1 triliun per tahun.

“Dukungan pupuk silika 1,52 juta ton (10% dari kebutuhan nasional) di sektor pertanian dengan nilai Rp2,7 triliun. Artinya cost dapat dikurangi karena FABA bisa lebih murah dari silika dan kualitasnya tetap bisa terjaga,’ ujarnya.

Sementara itu, perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Roffi Alhanif mengatakan Kemenko Marinves telah melakukan berbagai koordinasi di lembaga penelitian mengenai upaya pemanfaatan FABA.

“Dulu masuk dalam kategori B3 sehingga tidak dapat dikelola maksimal dan harus banyak kriteria yang harus dipenuhi dalam pengolahannya bahkan menjadi tidak optimal. Jika menjadi non-B3, tentu akan memberikan dampak, artinya terdapat pengurangan pembiayaan yang ditanggung penghasil untuk mengelola FABA dan dapat menjadi sumber ekonomi baru di Indonesia,” ujarnya.

Dalam diskusi media ini, Roffi menekankan bahwa koordinasi dan pemantauan mengenai kajian pemanfaatan FABA tidak serta merta baru dilakukan ketika FABA masuk dalam kategori non-B3 sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021. Lanjut Roffi, Kemenko Marinves pun akan melakukan pemantauan terhadap implementasinya.

“Dalam PP No.22/2021 diatur kegiatan pengelolaan mulai dari sumber FABA, saat pengolahan berlangsung hingga mencapai ujungnya (pelaporan), kesemuanya itu harus diikuti oleh semua pihak yang terlibat, yaitu penghasil sampai pada masyarakat yang terdampak,” katanya.

Roffi melanjutkan, katanya, kami di pemerintah sudah harus segera membuat aturan turunan sehingga tata kelola bisa baik.

“Ada larangan juga yang diatur dalam PP yang dikenakan kepada penghasil yaitu dilarang melakukan pembuangan, pembakaran secara terbuka, dan pencampuran dengan bahan B3 lain, dan atau penimbunan di fasilitas TPA. Bentuk pengelolaan limbah non-B3 juga harus ada dalam dokumen persetujuan lingkungan. Jadi ini tetap menjadi bagian yang penting bagi penghasil untuk mengelola dengan baik,” tutup Roffi.

Top