Apakah partai politik bisa disamakan seperti perusahaan yang bisa dikenakan sanksi tindak korupsi? Pertanyaan ini mengemuka dalam diskusi online paparan salah satu hasil penelitian terbaik Anti-Corruption Summit-4 (ACS 2020).

Penelitian bertajuk “Desain Penegakan Hukum Korupsi dan Partai Politik di Indonesia”  ditulis oleh Agil Oktaryal dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Proborini Hastuti dari UIN Sunan Kalijaga ini dibahas dalam webinar online yang disiarkan melalui Youtube KPK kemarin (18/11).

Diskusi yang dimoderatori oleh Mitra Bestari Jurnal Integritas Ningrum Sirait, menghadirkan Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto serta Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Sigit Pamungkas sebagai narasumber.

Dalam penelitiannya, Agil dan Proborini melihat partai politik di negara demokrasi termasuk Indonesia memiliki peran yang sangat strategis karena rekruitmen pejabat publik maupun lembaga perwakilan melibatkan partai politik sebagai poros rekruitmen. Kondisi ini kemudian memunculkan lingkaran setan korupsi politik yang melibatkan partai politik, politisi dan birokrasi. 

“Karena partai politik sebagai satu-satunya sarana mencapai kekuasaan menjadikan birokrasi sebagai penghasil kekuatan politik, yang nantinya menempatkan orang-orang yang dapat memuluskan kepentingan elit parpol,” ungkap Proborini.

Kasus-kasus yang melibatkan ketua umum partai politik tersebut, menurut Agil memberikan gambaran bahwa patut diduga uang hasil korupsi mengalir ke tubuh partai politik. Pasalnya saat tindak pidana korupsi dilakukan yang bersangkutan berkedudukan sebagai ketua umum partai politik yang berkolerasi dengan tugasnya mencari jalan mendanai partai politik. 

Namun hingga saat ini, yang diperkarakan hanya oknum dari partai politik. Partai politik sebagai institusi berbadan hukum, seolah-olah seperti memiliki kekebalan hukum karena faktanya sampai saat ini belum pernah ada satu pun partai politik selaku badan hukum yang dapat dimintai  pertanggungjawaban secara pidana walaupun secara terang benderang partai politik ikut menikmati hasil dari korupsi yang dilakukan anggota partainya. 

Berangkat dari fakta diatas, Agil dan Proborini memandang perlu adanya desain ideal penegakan hukum yang terstruktur, tegas dan mapan terhadap partai politik dalam konteks tindak pidana korupsi. Saat ini perlu penegasan partai politik dipandang sebagai perusahaan. “Hal ini memungkinkan jika dipandang dari sudut padang regulasi, perbandingan dan teori. Saat partai politik dipandang sebagai korporasi, ini memungkinkan partai dapat dijerat dengan hukum tindak pidana korupsi jika terlibat korupsi,” jelas Praborini.

Data KPK sepanjang tahun 2004 - 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat  publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 397 orang diantaranya menduduki jabatan politik, yaitu 257 orang adalah anggota DPR atau DPRD, 21 orang adalah gubenur dan 119 orang adalah bupati atau walikota dimana semuanya berlatar belakang dari partai politik. 

Direktur Penuntutan KPK Fitroh Rohcahyanto mengungkap bahwa dari banyaknya erkara yang ditangani KPK, semuanya bersinggungan dengan aktivitas politik. Menurut dia,  praktik korupsi dalam aktifitas politik ini menghadirkan ekonomi biaya tinggi sehingga menyebabkan harga semakin mahal yang ditanggung oleh konsumen. “Selain itu praktek korupsi dalam aktifitas politik juga akan melahirkan oligarki politik, karena pelaku usaha akan bergerak membiayai aktifitas politik seseorang atau kelompok untuk melanggengkan bisnisnya,” paparnya.