Rendahnya tingkat literasi, menjadi tugas bersama. Diperlukan upaya kreatif agar masyarakat bisa melek dan cerdas literasi.

Gadis berusia sembilan tahun itu duduk berdampingan dengan tiga temannya. Tangannya memegang sebuah buku cerita bergambar setebal 24 halaman. Najwa Aulia nama bocah itu, yang rajin mengunjungi rumah baca Fun with English (FWE) di kawasan Jakarta Pusat. Sambil menunggu kelas bahasa Inggris, ia sering berkunjung ke ruang baca dan meminjam 10 buku dalam sebulan.

Rumah baca ini didirikan Asril Amin atau yang biasa disapa Abah Acil beserta istrinya, Nila sejak 12 tahun lalu. Dari rumah baca itu mereka berharap akan memberi pencerahan literasi kepada anak-anak sehingga generasi di masa mendatang akan lebih baik, meskipun keterbatasan dan tantangan selalu dihadapi.

“Saya sering memberikan motivasi ke anak-anak, dengan membaca kamu akan lebih cerdas. Dengan begitu masa depan kamu akan lebih baik,” ujar Abah Acil kepada Integrito, pertengahan Agustus lalu.

Abah Acil tetap semangat berkat bantuan dari orang-orang yang peduli dengan gerakan literasinya. Seperti komunitas 1001 Buku, yang rajin membantu menggalang buku untuk rumah baca FEW, yang menjadi saah satu dari 800 jaringan taman baca Komunitas 1001 Buku. Misi Komunitas 1001 Buku cukup sederhana, yaitu mengumpulkan buku untuk disalurkan ke berbagai taman baca di seluruh Indonesia yang telah mereka mulai sejak 17 tahun lalu.

Menurut relawan 1001 Buku Dwi Andayani, dalam sebulan komunitas ini bisa mendistribusikan sedikitnya 2.500 buku ke 25 taman baca jaringannya di seluruh Indonesia, salah satunya Rumah Baca FEW itu.

“Satu taman baca akan mendapatkan minimal seratus buku,” ujar Dwi, yang bekerja sama dengan berbagai instansi, perusahaan, sekolah, dan komunitas untuk menghimpun buku.

Komunitas ini menyasar anak-anak sebagai generasi harapan Indonesia di masa mendatang. Mereka yakin, dengan membaca buku, anak-anak itu akan tumbuh dengan baik yang pada akhirnya akan membawa perubahan bagi negeri ini.

“Ketika anak-anak sudah dibiasakan membaca buku, maka tumbuh kembang mereka akan baik. Kami percaya itu,” ujarnya.

Inovasi untuk meningkatkan kecerdasan literasi juga dilakukan masyarakat dalam beragam bentuk. Meski eksis sebagai grup musik, Hivi! juga ikut peduli dengan menyelenggarakan diskusi buku bersama penggemarnya.

Dalam kegiatan itu, setiap personil Hivi! dan para penggemarnya berbagi cerita tentang buku yang telah mereka baca. Selain meningkatkan minat baca, Hivi! juga memiliki misi agar generasi muda lebih kritis menghadapi era “banjir informasi” yang justru membuat orang malas membaca.

Hivi! percaya, bahwa jika generasi muda memiliki minat baca yang tinggi pasti akan mendatangkan manfaat untuk mereka sendiri. “Dengan sering membaca, maka dia akan lebih banyak tahu dan lebih kritis dalam melihat banyak hal. Makannya, literasi itu penting sekali.”

Yang dilakukan komunitas Lemari Buku-buku tak kalah unik. Komunitas yang beranggotakan para kartunis ini, menggunakan keterampilannya untuk mengkampanyekan donasi buku bagi masyarakat. Setiap donasi, akan digantikan dengan kartun wajah si donatur buku sebagai ucapan terima kasih.

Itulah yang akhirnya membuat Lemari Buku-Buku berdiri sejak 2013. Menurut Desta, salah seorang relawan, komunitas itu dapat mengumpulkan lebih dari 50 buku dalam sehari, yang selanjutnya didistribusikan ke sekolah yang minim koleksi. Kini, gerakan ini sudah menjalar ke beberapa kota selain Jakarta, yakni Bandung Bogor, Semarang, Bali, Yogyakarta dan Malang.

Pengalaman bertahun-tahun menjadi relawan membuat Desta bersyukur. Pasalnya Desta kerap menemukan anak-anak yang kesulitan mendapatkan buku di berbagai pelosok daerah. “Sedih. Ketika melihat fakta bahwa sebenarnya anak-anak Indonesia itu senang dengan buku, namun mereka kesulitan mendapatnya.”

Rendahnya tingkat literasi, memang memerlukan upaya semua pihak untuk mengatasinya. Sebuah penelitian dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) pada 2012, menunjukkan indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya, hanya ada satu orang yang memiliki minat baca dari setiap seribu penduduk.

Studi yang tak kalah membuat hati miris, juga dapat dilihat dari studi Central Connecticut State University pada tahun 2016 tentang ‘Most Literate Nations in The World’. Studi ini bahkan menyebutkan minat baca Indonesia menempati urutan ke-60 dari total 61 negara.

Rendahnya literasi, kini kian mendapat tantangan seiring perkembangan internet. Menurut pemerhati budaya dan komunikasi digital Dr. Firman Kurniawan, perkembangan teknologi telah membuat masyarakat lebih sering mengakses internet daripada membaca buku.

Menurutnya, ini merupakan dampak dari internet of things, dimana masyarakat sudah saling terhubung, dan hampir semua jenis kebutuhan sudah dipenuhi secara daring.

“Jadi kehidupan itu tujuh puluh persen sudah dilayani di perangkat digital. Akhirnya kegiatan apapun dialihkan ke sana (ponsel). Termasuk kegiatan membaca,” ujar dosen Komunikasi Pascasarjana Universitas Indonesia ini.

Fakta ini terkonfirmasi dengan survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2018 yang menunjukkan jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta pengguna, atau meningkat 10,2 persen dari 2017.

Inisiatif masyarakat dalam gerakan literasi seperti kisah di atas merupakan energi bagi pemerintah yang memang tengah getol melakukan sejumlah upaya untuk mengatasi persoalan tersebut. Salah satu strategi yang dilakukan Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan membentuk Gerakan Literasi Nasional sejak 2016.

Mendikbud Muhadjir Effendy yakin peningkatan literasi itu penting sebagai salah satu tolok ukur kemajuan sebuah bangsa. Sebab, “Ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang sangat kokoh dalam membangun tradisi literasinya,” ujarnya.

Setiap tahun, Kemendikbud memberikan bantuan dana kepada setiap Dinas Pendidikan di daerah untuk menggerakan Gerakan Literasi Nasional. Nantinya, dana itu akan digunakan untuk mengembangkan literasi di daerah sekaligus memperkuat para pelaku gerakan literasi.

“Jika semua terlibat maka upaya mengembangkan budaya literasi akan semakin meluas.”

Fokus utama Gerakan Literasi Nasional ini meliputi literasi dasar yang terdiri dari enam aspek, yatu literasi baca-tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewarganegaraan.