“Pak Panggabean, kalau tahun ini tidak ada perkara yang ditangani KPK, aku mau mundur,” ucap Sjahruddin Rasul kepada Tumpak Hatorangan Panggabean.

Itu lima belas tahun silam, hampir enam bulan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi berdiri.

Saat itu, Rasul sebagai salah satu komisioner KPK resah karena belum menangani satupun kasus. Sebagai lembaga yang baru ‘dilahirkan’ kondisi KPK saat itu, juga masih punya banyak keterbatasan.

“Belum ada Standard Operating Procedure (SOP), belum memiliki sumber daya manusia yang cukup serta anggaran yang cukup,” kata Erry Riyana Hardjapamekas, kepada Integrito Mei lalu.

Masa awal KPK berdiri merupakan tantangan besar untuk kelima Pimpinan KPK jilid satu, yakni Taufiequrachman Ruki, Amien Sunaryadi, Sjahruddin Rasul, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Erry Riyana Hardjapamekas.

Mereka melihat ekspektasi masyarakat begitu besar terhadap lembaga ini. Namun jumlah ‘amunisi’ yang dimiliki KPK masih belum memadai untuk bekerja lebih, sesuai dengan harapan itu. Namun, dukungan moril itu pula yang mendorong KPK untuk berani dan berusaha lebih keras meskipun belum memiliki pengalaman menangani kasus korupsi.

Kasus pertama yang ditangani KPK berawal dari beberapa pengaduan masyarakat dan laporan dari beberapa pihak mengenai dugaan korupsi yang dilakukan Gubernur Aceh kala itu, Abdullah Puteh. Ia diduga melakukan korupsi Rp10 miliar dalam pengadaan helikopter jenis MI-2 merek PLC Rostov asal Rusia.

Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan mendalami laporan, mengumpulkan bukti dan informasi. Dua Pimpinan KPK Erry Riyana dan Sjahruddin Rasul bahkan terbang ke Banda Aceh untuk bertemu beberapa pihak yang dapat memberikan keterangan dan bukti. Saat sedang menyisir informasi, Rasul bahkan sempat nyasar hingga ke wilayah yang dikuasai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Setelah menemukan bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan kasus ini ke tingkat penyidikan dan menetapkan Abdullah Puteh sebagai tersangka pada 7 Desember 2004 tepat pukul 14.55 WIB. Momen itu merupakan sebuah gebrakan besar setelah 32 tahun belum pernah ada gubernur aktif yang ditetapkan sebagai tersangka.

Meringkus Puteh bukanlah hal yang mudah. Terpaan angin mulai datang, berupa ancaman pesan singkat. Meski begitu, mental mereka tidak surut.

Tersangka lain kasus ini, Bram Manoppo lantas mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Intinya, Bram mempersoalkan kewenangan KPK mengadili kasus ini yang sudah terjadi sebelum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi disahkan.

Pimpinan KPK Erry Riyana dan Tumpak Hatorangan menghadiri sidang itu dengan membawa dua ahli. Singkat kata, KPK memenangkan judicial review tersebut.

Sungguh, pertolongan Tuhan datang dari mana saja. KPK akhirnya mendapatkan bukti kuat yang tak terbantahkan. Dua buah bukti transfer dari rekening kas daerah Provinsi Nanggroë Aceh Darussalam ke rekening pribadi Puteh. Bukti transfer itu bahkan ditunjukan langsung oleh seorang saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 1 Februari 2005.

Pada akhirnya, Abdullah Puteh dinyatakan bersalah dan divonis 10 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Puteh juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp3,6 miliar dalam waktu satu bulan.

Perkara pertama yang ditangani KPK penuh dengan tantangan dan ancaman. Namun, itu bukanlah akhir dari sebuah perjuangan menghadirkan Indonesia yang bebas dari korupsi, melainkan awal mula cerita perjalanan lembaga antikorupsi untuk Indonesia yang lebih baik.

Top