Sejak melakukan pertemuan bilateral dengan U4 Anti-Corruption Resources Center pada 29 Juni 2018 lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah sepakat untuk melakukan beberapa kegiatan kolaborasi. Salah satunya, KPK dan U4 Anti-Corruption Resources Center akan melakukan kajian atau penelitian bersama.

Sebagai tindak lanjut kesepakatan itu, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK berkolaborasi dengan U4 Anti-Corruption Resources Center melakukan riset bersama dengan berbagai tema.

“Seperti kolaborasi riset mengenai tingkat efektivitas peradilan korupsi pada sektor kehutanan, social network analysis terkait korupsi kehutanan, serta hubungan antara kesetaraan gender, pengelolaan sumber daya hutan dan korupsi,” ujar Deputy Director U4 Anti-Corruption Resources Center Sofie Schutte, Selasa (15/10), di Gedung Merah Putih KPK.

Pertama, kajian mengenai kebijakan Satu Peta. Sofie melihat bahwa tantangan utama dalam menyelesaikan kebijakan Satu Peta adalah kurangnya data.
“Mungkin ada yang punya data namun tidak mau berbagi.”

Dalam pelaksanaan kebijakan ini, Sofie menilai bahwa KPK memiliki peran yang penting untuk memastikan agar tidak ada praktik suap-menyuap yang dapat mempengaruhi kebijakan ini.

“Ini sangat penting diawasi KPK. Karena akan ada banyak kepentingan dari berbagai level. Kita harus menghindari istilah ‘uang yang memutuskan’ itu,” ujar Sofie.

Selain itu, Sofie juga menjelaskan mengenai kolaborasi bersama antara U4 dan KPK mengenai C-File Project. Lewat kolaborasi ini, KPK dan U4 akan menganalisis kasus-kasus yang pernah ditangani oleh KPK secara sistematis dan komperhensif.

“Saat ini KPK sudah punya lebih dari 600 kasus yang sudah inkracht, ada berkas perkara dan putusan pengadilan. Namun sampai sekarang hanya disimpan di ELO dan belum ada analisis mendalam.”

Tahun ini, analisis akan dimulai dengan 27 putusan kasus korupsi yang sudah inkracht di sektor kehutanan. Analisis itu akan memberikan rekomendasi bagi upaya pencegahan dan penindakan yang dilakukan KPK.

Kedua, kajian dengan tema jaringan korupsi di Riau. Penelitian ini dipilih karena melihat beberapa orang yang menjabat sebagai Gubernur Riau terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

“Kasusnya berulang-ulang, seperti gubernur yang satu tidak belajar dari kesalahan subernur sebelumnya” kata Sofie.

Meskipun penelitian ini belum rampung, ia telah mendapatkan temuan sementara saat meneliti salah satu kasus korupsi di sektor kehutanan.

“Ada koneksi yang sangat dekat antara para pelaku. Mereka saling mengenal dekat. Unsur keluarga juga sangat berperan dalam pencucian uang,” ungkap Sofie.

Ia juga menemukan bahwa jaringan tersebut sangat besar yang melibatkan banyak orang dalam kegiatan kriminal maupun bukan kegiatan kriminal. Jaringan dalam birokrasi pun sangat adaptif. Menurut Sofie, mereka akan bertahan lama meskipun salah satu di antara mereka telah ditangkap KPK.

Kemudian yang menarik, Sofie menemukan bahwa para perantara yang dalam hal ini adalah bawahan atau orang suruhan merupakan orang yang paling memiliki risiko tinggi. Tetapi mereka bisa menjadi saksi kunci yang paling menarik.

“Karena biasanya mereka itu perantara. Mereka yang justru paling tahu uang itu dari siapa, untuk siapa.”

Ketiga, adalah riset mengenai kesetaraan gender, pengelolaan hutan, dan korupsi oleh Peneliti Senior U4 Anti-Corruption Resources Center Monica Kriya. Riset itu menemukan bahwa perempuan memiliki dampak korupsi yang lebih besar dibandingkan laki-laki, khususnya perempuan dalam masyarakat adat.

“Karena ia harus menjaga keluarga, menjaga hutan dan rumahnya. Dampak korupsi lebih parah terhadap perempuan.” Ujar Sofie.

Saat ini illegal logging telah menguasai hutan dan menggeser keberadaan masyarakat adat. Kegiatan mencari kayu bakar atau mencari makan di hutan jadi begitu menakutkan untuk perempuan masyarakat adat, sebab, kegiatan itu menyebabkan perempuan menjadi dikriminalisasi.

Riset tersebut menemukan bahwa perempuan seharunya ikut terlibat dalam pengambilan keputusan. Menurut Monica sang penulis, perempuan cenderung lebih sedikit memiliki niat untuk berbuat curang dibandingkan laki-laki.

“Penelitian berdasarkan analisis data Gender Inequality Index dan The World Bank Worldwide Governance Indicators menemukan bahwa perempuan cenderung lebih tidak koruptif dibandingkan dengan laki-laki,” ungkap Monica saat workshop Gender, Foresty, and Corruption, di Pusat Edukasi Antikorupsi, Senin (14/10).

Riset itu juga menyimpulkan bahwa rendahnya tingkat korupsi di suatu negara berasosiasi dengan tingginya komposisi anggota parlemen wanita dan jumlah pegawai wanita di sektor publik.

Dalam kesempatan yang sama Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyampaikan bahwa ia tertarik dengan dengan penelitian mengenai analisis jaringan korupsi atau social network analisys. Menurutnya, hasil analisis itu sangat penting dalam upaya pencegahan dan mengarahkan kerja penindakan.

Dengan mengetahui jaringan korupsi, maka KPK bisa mencegah terjadinya korupsi dan segera menindak yang berani melakukan korupsi.  Syarif juga mengucapkan terima kasih atas kolaborasi yang telah dilakukan bersama-sama dengan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK. Menurutnya kedatangan U4 merupakan sebuah energi baru.

“Kita percaya dengan energi ini, kita bisa berkolaborasi untuk terus memberantas korupsi,” ucap Syarif.

Kolaborasi ini menurut Syarif dapat meningkatkan kualitas laporan ilmiah atau kajian yang selama ini dilakukan Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, terutama yang berhubungan dengan sektor sumber daya alam.

(Humas)