Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan hasil kajian tentang pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur. Ini dilakukan pada Selasa (14/10) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Dalam pertemuan itu, dihadiri tiga Pimpinan KPK, yakni Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, Alexander Marwata, serta Direktur Litbang Wawan Wardiana dan tim pengkaji. Sedangkan para pihak pemangku kepentingan dihadiri oleh Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin; Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan Kemenkeu Adriyanto; Direktur Utama PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad dan Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Pujiono.

Menurut Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, kajian ini bertujuan untuk memberikan rekomendasi guna menutup celah potensi korupsi dalam keseluruhan siklus pinjaman daerah. Meskipun pengaturan atas pinjaman daerah relatif ketat, dalam praktiknya masih terjadi korupsi. Salah satunya, kasus suap yang ditangani KPK untuk memperoleh persetujuan DPRD atas pinjaman daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung. “Permasalahan tersebut menjadi landasan KPK melakukan kajian ini,” katanya.

Memang, pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur merupakan instrumen pembiayaan pemerintah yang dijamin oleh UU. Pasal 300 ayat (1) UU 23/2014 menyatakan bahwa “daerah dapat melakukan pinjaman yang bersumber dari pemerintah pusat, daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat”.
Sementara itu, Direktur Litbang Wawan Wardiana mengatakan, pesatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di daerah mendorong kecenderungan meningkatnya permohonan pinjaman untuk membiayainya.

Sampai akhir Mei 2019, di luar debitur pengalihan dari Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan, tercatat 19 pemda telah melakukan perikatan pinjaman dengan PT. SMI dengan total pinjaman sebesar Rp3,2 triliun dan melalui BPD sebesar Rp2,6 triliun. Sejak 2016 juga tercatat lebih dari 50 pemda telah mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kemendagri untuk dapat memulai proses peminjaman. Semakin lama tren permohonan tersebut semakin meningkat.

Pemetaan potensi korupsi, kata Wawan, dilakukan dengan cara observasi, wawancara dengan narasumber pada institusi yang menjadi objek kajian serta pihak-pihak relevan lainnya, serta menganalisis instansi yang menjadi lokus kajian, yaitu Instansi pusat dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan, serta instansi daerah, yang terdiri atas Pemprov Lampung, Pemkot Tebing Tinggi, Pemkab Gianyar, Pemkab Demak, dan Pemkab Konawe Selatan. Juga PT SMI, Bank Pembangunan Daerah (BPD), dengan entitas terpilih yaitu BPD Jawa Tengah, BPD Sumatera Utara, dan BPD Sulawesi Tenggara.

Hasil kajian memetakan sejumlah permasalahan dalam siklus kebijakan pemerintah daerah, yaitu Pemerintah daerah tidak menyiapkan dokumen perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber pinjaman, Pemerintah daerah melakukan maksimalisasi penggunaan dana pinjaman untuk pekerjaan yang berada di luar lingkup perencanaan, dan lemahnya pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pinjaman daerah.

Persoalan lainnya, Kementerian Keuangan belum memperhatikan kapasitas fiskal tiap daerah dalam memberikan persetujuan pelampauan defisit, minimnya penggunaan teknologi digital dalam proses dan penerbitan dokumen pinjaman daerah, serta belum adanya pengaturan atas konten minimum yang harus tercantum pada surat pertimbangan Kementerian Dalam Negeri.

Karena itu, kata Wawan, untuk merespons sejumlah masalah di atas, KPK merekomendasikan sejumlah hal. Di antaranya Kementerian Dalam Negeri menetapkan panduan bagi daerah dalam menyusun kerangka acuan kerja atas kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman daerah, Kreditur melakukan penilaian atas integritas dokumen kelayakan kegiatan, Kreditur menjadikan probity audit sebagai syarat penarikan pinjaman dan menentukan nilai final pinjaman.

“Juga Kementerian Keuangan memberikan persetujuan pelampauan defisit APBD dengan memperhatikan kapasitas fiskal tiap daerah,” kata Wawan.

(Humas)

Top