Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) tahap kedua, sudah berjalan selama lima tahun. Bermula dari inisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mendorong Nota Kesepahaman Bersama (NKB) Percepatan Pengukuhan Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh 12 Kementerian dan Lembaga pada 11 Maret 2013.

Semangat kerjasama pemberantasan korupsi dan perbaikan tata kelola di sektor SDA ini semakin meluas sejak pendandatanganan Nota Kesepakatan Bersama tentang GNP SDA oleh 27 Kementerian dan Lembaga pada tahun 2015.

Pemberantasan korupsi di sektor SDA merupakan salah satu fokus kerja KPK. Penyelamatan SDA dipandang menjadi salah satu isu prioritas mengingat sumber daya alam kita yang terbatas dan kerusakannya dapat mengancam kehidupan manusia.

“Manusia itu butuh alam untuk hidup. Jangan berharap oksigen kita tercukupi kalau hutan terus-terusan dirusak,” ucap Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam Diskusi Media Evaluasi GNP-SDA di Gedung Merah Putih KPK (9/7).

Selain itu, KPK memandang memberantas korupsi di sektor SDA juga penting karena nilai kerugian negara yang begitu besar jika dibiarkan terus menerus. Menurut Syarif, selama ini, hanya sedikit yang negara dapatkan dari sektor SDA, sedangkan nilai kerusakan yang dihasilkan jauh lebih besar.

“Jadi, antara manfaat ekonomi dengan kerusakan yang dihasilkan tidak seimbang.”

Menurut kajian KPK, selama 15 tahun (1998-2013) Perhutani diperkirakan kehilangan aset hutan sebesar Rp998 miliar pertahun. Sedangkan di sektor pertambangan dan minerba, terdapat kekurangan pajak hingga Rp15,9 Miliar pertahun dari tiga pulau, yaitu Kalimantan, Sumatera, dan Papua.

Selain itu, di tahun 2016, KPK juga menemukan potensi pajak yang tidak terpungut di sektor perkebunan sawit senilai Rp18,13 Triliun.

Menurutnya, hal ini terjadi karena banyak celah korupsi yang terjadi di sektor SDA. Maka dari itu, Syarif mengatakan bahwa KPK akan terus berkomitmen untuk terus melanjutkan gerakan GNP-SDA.

Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) yang juga Anggota Tim Pakar GNP-SDA Hariadi Kartodihardjo mengatakan bahwa gerakan GNP SDA telah memberikan beberapa dampak yang positif.

Misalnya, selama periode 2014-2017, terjadi peningkatan penerimaan pajak sebesr 32,18. Peningkatan yang signifikan terjadi di sektor kelautan dan perikanan yakni 56,47%. Dampak langsung dari peningkatan penerimaan pajak ini meningkatkan tax ratio pada tahun 2017 menjadi 3,87%.

Kemudian, terjadi kenaikan pada PNBP di sektor minerba dan perikanan dari Rp21,90 Triliun pada tahun 2015 menjadi Rp28,35 Triliun di tahun 2017. Artinya, selama periode itu terjadi pertumbuhan PBNP sebesar 29,45%.

Guru Besar IPB ini juga mengatakan bahwa gerakan GNP-SDA tidak hanya memberikan dampak ekonomi, namun gerakan GNP SDA juga mendorong penguatan fungsi pengendalian pemerintah.

“KIta tahu bahwa akar persoalannnya adalah kewenangan yang tidak berjalan untuk mengendalikan berbagai perizinan. Mungkin ada hambatan dalam hubungan antar lembaga, temasuk pusat ke daerah. Itu yang kami fasilitasi.”

Menurut Hariadi, akar masalah yang menjadi temuan tim GNP-SDA adalah state capture. Menurutnya, state capture sangat terkait dengan konflik kepentingan.

“Kalau kita amati, banyak peraturan yang mengandung state capture tinggi.”

Maksudnya, peraturan itu sengaja dibuat untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu. Peraturan yang mengandung state capture tinggi bisa melemahkan penegakan hukum yang sebenarnya sudah ‘dimanipulasi’.

“Jangan-jangan penegakan hukum ini lemah karena ‘dimanipulasi’ untuk kemudahan korupsi atau keuntungan kelompok tertentu,” katanya.

Ada satu hal kunci yang dapat menjadi pintu keluar dari permasalahan state capture tersebut, yaitu jiwa kepemimpinan kepala negara atau lembaga. Menurutnya jika tidak ada reformasi birokrasi yang baik maka hal yang sama akan terulang kembali.

“Birokrasi yang sejak dahulu tidak berubah, itu yang menyebabkan hal seperti itu terjadi lagi.”

Menjawab perihal tersebut, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono mengatakan pasca intervensi dari GNP-SDA, KLHK telah terdorong untuk memperbaiki sistem. Misalnya, menggunakan sistem online untuk mengurangi peluang atau risiko korupsi.

“Pasca GNP-SDA, dalam pelayanan perizinan tidak ada lagi yang namanya tatap muka.”

Selain itu, KLHK juga mengembangkan sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai salah satu wujud reformas birokrasi.

“Kini, surat perizinan diurus di lobi, dan kalau sudah selesai diambil di lobi, jadi tidak boleh lagi ke lantai atas.”

KPK telah merumuskan beberapa arah dan strategi GNP-SDA ke depannya, yaitu pengelolaan SDA yang berkeadilan untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang., mengatasi ketimpangan dalam penguasaan dan pemanfaatan SDA, optimalisasi nilai manfaat SDA untuk kemakmuran rakyat.

“Jadi, jangan lagi ada perusahaan yang tidak bayar pajak,” ujar Syarif.

Selain itu, KPK juga ingin agar pengelolaan pajak di sektor SDA yang bersih, bebas korupsi, dan berkeadilan, mengatasi berbenturan kepentingan dan penyandraan negara (state capture) dalam urusan SDA.

“Karena banyak benturan kepentingan karena dia politisi, regulator, atau pengusaha. Ini tidak boleh lagi mereka seperti itu.”

Ke depan, KPK akan mendorong transparansi dan partisipasi publik sebagai prasyarat utama pengelolaan SDA dan penegakan hukum yang berdampak pemulihan dan perindungan lingkungan hidup.

Saksikan Video Cuplikan Tentang Gerakan Nasional Penyelematan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) disini

(Humas)

Top