Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan sejumlah catatan perbaikan bagi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang belum berjalan optimal. Sebagian BUMD yang seharusnya menjadi salah satu penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD), belum mampu menjadikan daerahnya mandiri secara fiskal karena masih bergantung pada dana transfer pemerintah pusat.

Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi KPK Didik Agung Widjanarko menjelaskan, belum optimalnya BUMD tersebut juga terjadi di Kalimantan Timur yang notabene memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) melimpah. Sumber itu salah satunya berasal dari sektor pertambangan—yang menyumbang lebih dari 40% perekonomian di Kaltim dengan komoditas utamanya adalah minyak, gas, dan batu bara.

“Dengan adanya peluang yang bisa digunakan, rekan-rekan daerah harus (memperbaiki) tata kelola BUMD. Kami siap mendukung, mendampingi, mengoptimalkan agar BUMD bisa bekerjasama dengan BUMN,” kata Didik dalam seminar bertajuk Optimalisasi Pendapatan dari Sektor Tambang Melalui BUMD, di Gedung Odah Etam, Samarinda, Rabu (16/11).

Menurut Didik, dengan tata kelola BUMD yang baik, maka pendapatan yang diperoleh akan jauh lebih besar. Nantinya keuntungan itu dapat digunakan untuk melakukan pembangunan di daerah yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

Perbaikan tata kelola BUMD di Kaltim bukan tanpa alasan. KPK melihat banyak BUMD yang tak memperoleh keuntungan padahal ada kontribusi negara di BUMD melalui penyertaan modal daerah.

“Data KPK mencatat saat ini BUMD yang ada di seluruh wilayah Indonesia adalah 959 dengan total aset mencapai Rp854,9 triliun. Sayangnya, sebanyak 274 BUMD mengalami kerugian, 291 BUMD sakit (rugi dan ekuitas negatif), 17 BUMD kekayaan perusahaannya lebih kecil daripada kewajibannya (ekuitas negatif), 186 BUMD memiliki posisi Dewan Pengawas dan Komisaris yang lebih banyak daripada Direksi, dan 60% BUMD tidak memiliki Satuan Pengawas Internal (SPI),” ungkapnya

Jika dibedah, menurut Dikik, titik rawan korupsi di BUMD karena adanya pemanfaatan penyertaan modal yang tidak transparan dan akuntabel; penyuapan untuk melancarkan proyek, pemanfaatan dana CSR yang berindikasi korupsi (gratifikasi); dan kurang hati-hati dalam pengambilan keputusan ketika berusaha. 

Terdapat pula indikator pemilihan direksi dan dewan pengawas kurang selektif; mekanisme PBJ tidak transparan dan akuntabel; rendahnya pengendalian dan pengawasan fraud; dan implementasi Good Corporate Governance (GCG) yang belum optimal.

Sementara itu modus korupsi di sektor perizinan dan sektor pertambangan ialah perizinan yang tidak didelegasikan; persyaratan perizinan tidak transparan; rekomendasi teknis fiktif; berbelit-belit hanya sebagai formalitas; sektor tambang dijadikan sumber dana politik; tumpang tindih perizinan yang dimana luas izin SDA lebih besar dari luas wilayah.

Juga konflik lahan antara perusahaan dan masyarakat; suap/gratifikasi/pemerasan dalam pemrosesan perizinan; dan ketidakpastian peraturan dan kebijakan juga telah menghambat perwujudan potensi pertambangan untuk berkontribusi terhadap pembangunan sosial ekonomi.

Di forum yang sama, Direktur BUMD, BLUD, dan BMD Kementerian Dalam Negeri Budi Santoso menjelaskan saat ini kondisi sebagai besar BUMD di Indonesia sedang dalam keadaan tidak baik dan tidak menghasilkan keuntungan. Sederet permasalahan terjadi dan sayangnya hal itu merupakan esensi dari pelaksanaan BUMD itu sendiri.

Salah satu persoalannya adalah karena saat ini posisi pucuk pimpinan BUMD masih diisi oleh orang-orang yang tidak berkompeten dan terindikasi memiliki kepentingan politik. Semestinya pengelola BUMD berasal dari tenaga profesional, agar pada proses pelaksanaannya dapat bekerja dan memberikan keuntungan bagi daerah.

“Kaitannya dengan pertambangan ini belum banyak BUMD yang bergerak di sektor pertambangan. Nah Kementerian ESDM bisa mendampingi gubernur, bupati, atau walikota yang mempunyai BUMD dan bergerak di sektor pertambangan” kata Budi.

Top